"Apa yang kau mengerti tentang pilkada, Tinus?" Pertanyaan yang sangat sederhana dan mendalam. " Sebelum engkau bertanya kepada saya, bolehkah engkau menjelaskan pilkada di masa sekarang Ton? Dua orang saling beradu tanya tentang suatu hal yang abstarak. Ton menjawab " Pilkada itu merupakan pemilu yang dilakukan di daerah, baik daerah tingkat satu maupun tingkat dua untuk menentukan para eksekutor dan legislator." "Ohh..." jawab Tinus singkat. Wajah Ton sangat muram dan cemberut karena mendengar jawaban yang tak memuaskan dari Tinus. " Ton, apakah pilkada itu penting?" Pertanyaan Tinus sungguh mengagetkan Ton. Ia sangat heran dengan Tinus yang berpikir kontradiktif. Sebagai siswa yang belajar tentang pendidikan kewarganegaraan sangatlah ironis dan miris bahkan jijik mendengar pertanyaan tersebut. " Tinus, apakah engkau tidak pernah belajar PKN? Bukanlah pelajaraan tersebut memberikan penjelasan yang mendetail tentang pemilu? Pertanyaan ini mempunyai maksud terselubung antara mengejek dan merendahkan Tinus. " Bukannya saya tidak belajar Ton, tetapi pada realitasnya pemilu itu tidak ada di Indonesia. Demokrasi itu sudah mati Ton. Di mana engkau menemukan bahwa pilkadaa atau pemilu secara umum itu dilaksanakan berdasarkan aturan main dan konstitusi? Sekarang pemilu atau demokrasi itu digunakan untuk memonopoli kekuasaan, membangun dinasti dan pemerintah yang oligarki," jelas Tinus panjang lebar. Ton pun bingung dengan penjelasan Tinus. Penjelasan yang sesungguhnya tidak dilontarkan. " Literatur mana yang kau baca, sehingga engkau menjustifikasi demikian, Tinus? Tinus menerawang ke langit berharap ada setitik embun jatuh dari langit, agar mencerahkan kepala dan otaknya. Ia terus saja diam dan membisu dengan segala catatan kritisnya. Ton pun menunggu penjelasannya. Rupanya ia tak sabar, kemudian Ia memaksa Tinus menjelaskan setiap argumentasi dan pernyataannya. "Begini Ton, dalam demokrasi itu ada beberapa hal yang sangat menunjukkan bahwa sebuah pemilu atau pilkada itu demokratis, yaitu: mengikuti aturan pemilu, memperjuangkan kedalautan rakyat, kebebasan pers dan massa, pemilu yang kompetetif sesuai dengan konstitusi." Namun sekarang itu tidak ada. Semuanya berjalan di atas uang, politik balas budi, politisasi hukum, birokrasi dan lain-lain," tambahnya. " Makanya Ton banyak baca dan analisis mana yang hoaks dan mana yang real. Supaya kita tak sekolah cuma-cuma. Kita belajar dan berpikir kritis, kita dapat mengembalikan marwah demokrasi kita. Dan satu lagi Ton, jangan terima uang dari siapapun menjelang pilkada itu tidak baik. Lebih baik kalau ada yang melakukkannya laporkan saja ke pihak yang berwajib," jelas Tinus terlalu panjang sehingga membuat otak Ton dicerahkab. " Tapi Tinus, mereka memberi uang sangat banyak," balas Ton dengan senyum rakus. " Kau terima saja uangnya tetapi jangan pilih orangnya. Sebab mereka lebih pandai menipu dari padamu. Mereka melebihi ular dalam hal ini teman." Tamat!
#pemilu yang demokratis selalu berdasarkan pada pengetahuan dan pendidikan yang baik, tetapi dunia pendidikan kita sedang dalam darurat banyak profesor dan doktor hasil dari jual beli karya lmiah. Hati-hati!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H