Mohon tunggu...
Tiano Garman
Tiano Garman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pecinta Kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Apakah Menikah Sebuah Kenormalan?

7 November 2024   10:19 Diperbarui: 7 November 2024   10:41 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

halodoc.com 

Menurut BPS angka pernikahan di Indonesia sangat menurun secara drastis pada setiap tahunnya. Berdasarkan temuan BPS Data dari BPS menyebutkan pada 2023 jumlah pernikahan di Indonesia sebanyak 1.577.255. Angka ini ternyata menurun sebanyak 128.000 jika dibandingkan dengan tahun 2022. Sementara jika dalam satu dekade terakhir angka pernikahan di Indonesia menurun sebanyak 28,63 persen. Lantas, apa penyebabnya?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menguraikan tentang apakah menikah itu sebuah kenormalan. Secara universal semua orang di dunia mengakui dan mengafirmasi bahwa menikah adalah sebuah kewajaran atau kenormalan. Menikah juga merupakan bagian dari panggilan manusia untuk berkembang, baik secara biologis maupun secara spiritual. Secara bilogis, menikah dilihat sebagai upaya agar populasi dari manusia tidak mengalami kepunahan atau selesai. Secara spiritual menikah merupakan sebuah bentuk hubungan dengan Tuhan atau Dia yang trasenden. Menikah dinilai sebuah ibadah yang patut dijalankan oleh semua orang. Namun pemahaman ini dibantah oleh berbagai pihak  tidak hidup dalam penikahan. Mereka memahami bahwa menikah adalah sebuah pilihan. Pilihan berarti hasil dari sikap bebas individu tanpa dipaksa oleh orang lain. Menikah dipahami sebagai hak yang tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lain. Menurut Rocky Gerung, hak itu bisa dipakai dan tidak bisa dipakai. Oleh karena itu, pernikahan dilihat sebagai hak  dari individu. Maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan sebuah kewajaran dan tidak menikah pun sebuah kewajaran karena didefinisi sebagai hak individu. 

Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana orang yang tidak menikah mengekspresikan kebutuhan seksualnya? Karena orang yang sebuah pengakuan mutlak bahwa prang yang menikah dapat mengekspresikan kebutuhan seksualnya melalui hubungan seks dengan pasangannya. Menurut persepektif para single (term yang digunakan untuk menyebut orang yang tidak menikah) dalam mengeskpresikan hasrat seksual tidak semestinya dilakukan melalui hubungan seksual dengan pasangan (perempuan). Menyalurkan hasrat seksual dapat dilakukan dengan melalui berbagai kegiatan atau hal-hal kreatif, seperti menulis, berekreasi, berdiskursus dan hal-hal yang memberikan kenikmatan bagi pribadi.

Apa penyebab orang tidak menikah?

Pertama, hak individu. Sebaagimana yang diuraikan sebelumnya bahwa kebanyakan orang menilai hidup dalam pernikahan dan membangun sebuah bahtera rumah tangga merupakan sebuah kenormalan. Antitesis dari perspektif ini adalah tidak menikah juga merupakan sebuah kewajaran karena dilihat sebagai hak atau pilihan.

Kedua, tuntutan agama (secara khusus agama Katolik). Dalam Gereja Katolik para pemimpin atau hirearki Gereja tidak boleh menikah atau hidup selibat. Hidup selibat merupakan sebuah pilihan yang didasarkan oleh hak individu untuk melayani Tuhan secara holistik. Hidup selibat dipandang sebagai bentuk hidup melampui kodrat manusia. Karena secara kodrat manusia dipanggil untuk menikah, tetapi bagi para selibater hidup melampaui kodrat tersebut. Pernikahan bagi para selibater dilaksanakan dalam sebuah bentuk sakramen yang bersifat kekal. Sakramen ini juga dilihat sebagai bentuk hubungan intim dan mendalam seorang imam dengan Allah. Sebagai bentuk hubungan yang initim, selibat dilakukan dengan penyerahan diri secara total. Lantas bagaimana para selibater mengeskpresikan hasrat biologisnya? Hema penulis, mereka dapat mengeskpresikan melalui aktivitas yang menyenangkan, melalui kegiatan karitatif dan menulis. 

Ketiga, salah satu penyebab menurunya angka menikah di Indonesia adalah maraknya kasus perceraian dalam keluarga. Pada tahun 2024 kasus perceraian di Indonesia sebanyak 463 ribu kasus. Angka ini merupakan sebuah tamparan keras bagi negara Indonesia. Apakah manusia Indonesia tidak mampu mempertahankan pernikahan mereka? Selain sikap skeptis disematkan, dampak lainnya ialah menciptakan efek buruk bagi generasi selanjutnya. Secara tidak langsung kasus perceraian yang marak terjadi, secara tidak langsung mestigmatisasi  bahwa hidup dalam pernikahan itu sebauh masalah. Alhasil, generasi selanjutnya mengafirmasi bahwa menikah itu memberikan persoalan pelik bagi kehidupan. Pasangan yang menikah tidak mampu memberikan testimoni kepada publik bahwa menikah adalah sebuah kewajaran dan membahagiakan. Sehingga perspektif tidak menikah sebuah kebahagian dan kewajaran menjadi bagian atau terfilogenetik dalam diri dan pemikiran manusia selanjutnya.

Keempat, penyebab lainnya ialah arus modern. Perkembangan teknologi dan globalisasi yang tak terbendung turut berdampak bagi cara pandang manusia. Pada masa ini, pernikahan tidak dipandang sebagi kewajaran bahkan dilihat sebagai ketaknormalan. Tesis penulis ini didasarkan pada realitas kehidupan masyarakat Indonesia.  Generasi milenial dan generasi Z melihat bahwa menikah merupakan sebuah masalah.  Pemahaman mereka tentang  pernikahan merupakan sebuah cara yang legal dan bermoral melakukan hubungan seksual. Bukan sebuah panggilan untuk menciptakan sebuah keturunan. Alhasil menikah dianggap sebagai media rekreatif. Selain perspektif yang digerus oleh teknologi.

Kelima, gaya hidup bebas. Prinsip hidup bebas sebagai bagian dari pengaruh teknologi. Ketika menikah adalah sebuah hak, maka dapat dilakukan tanpa tekanan. Kehidupan yang bebas dan didukung oleh kemajuan teknologi dan banyaknya tempat hiburan di Indonesia membuat generasi milenial dan generasi Z mengekspresikan kebutuhan biologis di tempat-tempat seperti ini. Adanya tempat hiburan merupakan tempat yang baik bagi mereka, meskipun melawan nilai-nilai moral.

Apa yang harus dilakukan?

Masalah menurunnya angka menikah merupakan sebuah masalah serius yang harus ditanggapi dengan cepat dan tepat. Menikah dan melahirkan anak adalah sebuah cara agar untuk mempertahankan agar sebuah negara dapat eksisi.  Negara Indonesia harus mampu mengubah cara berpikir melalui pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik akan menciptakan dan menjernihkan pandangan yang destruktif. Proses pendidikan yang baik juga tak terlepas dari berbagai kebutuhan baik infrastruktur maupun sumber daya manusia yang memadai dan kecekatan dalam mendidik. Selain itu, pemerintah Indonesia harus meminimalisasi bahkan harus menghilangkan usaha-usaha hiburan, seperti club-club, diskotik dan rumah hiburan. Hemat penulis hal-hal sederhana ini akan membantu negara Indonesia mengatasi masalah menurunnya angka pernikahan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun