Mohon tunggu...
Tiano Garman
Tiano Garman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pecinta Kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bapak

28 Mei 2024   18:59 Diperbarui: 28 Mei 2024   19:07 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Bersama asap yang mengepul, terlintas dalam bayangan sebagian kisah yang telah hilang. Iya, hilang yang benar-benar hilang. Kehilangan adalah sebuah peristiwa ahkhir dari sebuah temu di titik takdir. Kehilangan adalah awal dari segala sepi yang tak pernah selesai, pun tak pernah bertepi. Kehilangan adalah kekosongan makna, seperti puisi-puisi yang hilang gairah ketika tak ada majasnya. Kehilangan adalah sebait puisi yang datang ketika luka mendera jiwa. Setiap orang pasti merasakan kehilangan. Tidak ada yang tidak merasakan yang namanya kehilangan.
Dengan nikmatnya kopi ku mencoba menikmati segala kehilangan itu. Ku mencoba mencari dan merapikanya dalam kisah-kisah elegi. Namun, tak ada sepenggal kisah yang ku temukan. Yang ada hanyalah sepengal rindu yang gugup di sudut lubuk hati. Rindu yang sendu, yang tercipta dari segala luka dan duka, tawa dan becanda yang sangat bewarna. Entahlah. Apa pun itu, aku tak peduli.
Tegukan kopi yang tak selesai, ku mencoba mengingat-ingat rupa yang telah hilang itu. Wajah yang telah tenggelam di ufuk barat bersama senja, yang tak akan hadir pada fajar esok pagi. Pada dinginnya kopi yang tak pernah abadi, begitulah rupa yang tak abadi, tetapi ia kekal dalam ingatan dan tawa di singgasana surga. Begitulah kira-kira. Rupa yang telah tiada terus menanak lara. Wajah yang selalu tawa melekat erat dalam ingatan dan lubuk hati. Dari sanalah tercipta rindu sejak subuh sampai senja, dan Kembali ke subuh lagi hingga tak henti. Tergantung pada jalannya waktu. Pak. Aku rindu. Apakah engkau merindukanku juga?
****
Alex, demikian namanya. Sebuah nama yang disematkan padanya oleh kedua orangtuanya. Alex adalah salah satu nama yang menarik segala bunga-bunga di taman. Dengan perawakan yang tampan, ia mampu menawarkan hati Maria yang kini menjadi istrinya. Alex dan Maria adalah sepasang kekasih yang telah berstatus suami-istri. Tak ada jarak di antara mereka. Kini usia mereka tak lagi muda. Waktu telah membuntuti mereka hingga kepala dihiasi percak-percak putih. Meskipun sudah tua, sepasang kekasih itu tetap pandai meramu kata untuk saling merayu, sekedar mengusir penat dan lelah. Lalu, terciptalah tawa yang sangat bahagia di hari tua, di usia senja.
Tawa itu tak tertahan lama, ketika Alex terus dibuntuti waktu. Sudah cukup untuk dirinya menjaga dunia. Alex telah pergi mendahului Maria. Perginya telah menciptakan tapak-tapak sepi tanpa makna. Perginya telah menyisakan ruang-ruang sepi di hati Maria. Maria hanya bisa melepaskannya tanpa daya. Meski begitu berat dirasakannya, tetapi ia mengiklaskannya pergi mengikuti waktu. Dari kuburnya, Alex menulis syair-syair sendu. Rindu yang suci memuntahkan dinding Surga. Mengirim aroma cinta kepada Maria yang sedang terluka olehnya. Di atas pusaranya, Maria menaburkan bunga-bunga aksara yang menyatu menjadi sajak yang paling sempurna, lambang cinta yang tak pernah menua seperti usia. Tanda dari cinta yang tak pernah selesai, meski Alex telah menepi dan meninggalkan sepi. Cinta Maria abadi yang fana adalah waktu. Demikian alunan syair yang ditulis Maria, dengan mengutip puisi sang pujangga.
Maria, Wanita tua kini hanya berteman dengan sepi sembari menuliskan puisi-puisi rindu yang sendu. Pada rupanya yang sudah tua, tampak seribu derita di sana. Pada aurat mukanya yang bergaris rapi tentang lelah yang tak pernah usai. Lebam tubuhnya yang legam pertanda ia tak pernah menyerah untuk bekerja. Jari-jarinya yang telah berkerut tetap mengurai mimpi di pertengahan malam, sembari mengucapkan doa dengan isak tangisan hati yang lirih. Maria Wanita tua itu pandai menenun sendu, merawat lara menyembuhkan luka.
****
Pada tatap matanya, segala gerah berteduh, segala keluh yang menderu berhenti mengadu. Pada hela nafasnya, ada doa dan senandung yang paling syahdu hingga segala letih pergi dan segala gundah berlalu. Pada debar jantungnya, bening segala kenangan melagu deru hingga hening menciptakan sajak yang menciptakan rindu. Kulitnya hitam lebam. Tulang-tulang di sisi kiri dan kanan tubuhnya berbaris rapi. Tubuh yang dulunya kekar, kini hanya seperti kayu-kayu kering di musim kemarau. Namun, cintanya tetap dingin. Menyegarkan dan menghapus segala dahaga. Senyumnya ialah inspirasi yang selalu pasti dan tak berakhir.
Bibirnya yang kusam, pucat pasi menyunggingkan senyum dan menghasilkan tawa untuk mengusir lelahnya. Namun, ia tak pernah kelihatan lelah. Pada suatu ketika, ketika anaknya yang bungsu merengek meminta untuk didongengkan, ia melakukannya tanpa mengeluh. Sempat aku bertanya kepadanya, dimanakah engkau menyimpan segalah keluhmu? Merahasiakan segala duka dan laramu? Namun, ia hanya tersenyum dan mengecup keningku. Kecupan paling nikmat yang menyenyakkan segala tanya. Mendiamkan seribu lisan untuk dituturkan.Pada waktu yang lain ia pernah mengatakan, " segala sesuatu yang dirahasiakan hujan, tak akan terbongkar oleh angin, sebelum angin menggugurkan ranting-ranting kering, lalu jatuh merayap, meratap dengan tanah dan daun-daun yang layu di musim kemarau."  Aku tak mengerti ungkapan ini. Dan bagi saya, ungkapan ini adalah sesuatu yang baru. Tak ada yang menulisnya pada dinding kertas, apalagi di beranda media. Sebab, ia pujangga yang abadi.
Ketika senja hampir tengelam, ia baru saja menuaikan tugasnya di ladang. Ia pulang ke rumah. Kali ini tak seperti biasanya. Ia diam tanpa kata. Membisu seribu pilu, mungkin begitu tebakku. Aku tak pernah berani untuk bertanya tentang itu. Ia tak ikut perjamuan malam, akhirnya aku dan ibu menikmati hidangan malam yang sederhana berdua saja. Ibu juga menyimpan sepi. Tak berani berbicara, ketika aku bertanya tentang ayah di sela-sela jam makan. Ia tak menjawab. Seakan ia menyembunyikan seribu puisi bisu di mulutnya. Selaksa sajak penuh makna yang ia sembunyikan di balik hatinya. Entahlah.
                                                                          *****
"Uhuk..uhuk," suara itu tercipta dari kamar bapak dan ibu. Aku dengan cepat pergi ke sana." Ada apa dengan bapak, bu?" tanyaku segera dengan perasan takut. "Nak, penyakit ayahmu kambuh lagi," sahut ibu sambil mengusap punggung bapak yang sudah tua. Aku hanya terdiam. Sejak kapan bapak sakit? Kenapa aku baru tahu sekarang? Apakah itu merupakan rahasia yang ia diamkan? Aku sungguh tak mampu, ketika orang yang kujadikan panutan menderita sakit. Sangat sakit sekali. Ketika aku tak mengetahui segala sakit pada dahinya. Dan derita pada matanya. Dan dahaga pada dadanya. Sebab, bagaimana aku akan tahu ketika semua itu ia balutkan dengan sejuta tawa tanpa ada mengeluh sedikit pun.Aku hanya bisu. Puisi-puisi bisu yang dicipta ibu, kini aku telah mengerti semuanya. Sajak-sajak ayah yang tak pernah ku paham, kini perlahan sudah kupaham. Semuanya sudah berakhir, ketika bapak menghembus nafas untuk terakhir. Ia menghembuskan nafasnya, setelah ia membacakan sebait puisi kepada ibu, tentang cinta tak kenal usia. Tentang rasa yang tak pernah lekang oleh masa. Cintanya abadi. Sedang ibu membidik diksi-diksi pilu di sudut hatinya. Sesingkat itukah scenario pilu yang menyisakan riuh rindu dan gerah luka yang mendera? Mungkin perginya yang telalu pagi untuk membungkam seribu gulungan kata yang kusut di musim kemarau.
                                                   ****
Beberapa menit setelah ayah menyelesaikan tugasnya di dunia yang fana. Tetangga dan semua warga datang, memadati rumah yang beratapkan langit. Ada yang datang menghibur aku dan ibu. Ada juga yang datang untuk meratap bersama. Ada yang berteriak, seakan tak menerima kepergian ayah. Mereka menangis histeris. Pagi itu, tangis yang lirih menjadi senandung yang paling merdu yang memecahkan heningya dunia yang fana. Namun, dalam hati yang bebalut luka terlintas satu tanya yang menggema. Mengapa mereka, para tetangga menangis seperti itu? Seakan tak menerima kepergian ayah. Misteri. Apa saja yang telah dibuat ayah selama ini? Kebaikan seperi apakah yang ia tebarkan, sampai orang enggan melepaskan ia di hati mereka? Apakah ia salah satu pujangga yang setia merawat lara dan membantu menyembuhkan luka sesama? Entahlah...logikaku tak mengerti sedikit pun.
Tangis-tangis sendu dengan suara lirih mengantar bapak ke pusaranya. Kini, ia tertidur dan mengeja mimpinya dalam diam. Isak tangis ibu, saya, dan tetangga serta semua warga mengiringi kepergianya. Mulut warga tak henti mengucapkan kata-kata yang tak ku mengerti alasannya mereka mengeja. "Orang sebaik dia kenapa cepat pergi?" "Kenapa orang seperti Pak Alex harus mendahaui kita yang kurang berbagi?". Suara-suara itu kuanyamkan dalam dada. Menyusunnya rapi dalam hati.
                                                          *****
Kini, bersama senja yang hendak pergi, bapak ditenggelamkan dalam puisi yang ia tenun di liang kuburnya. Sepi enggan menepi. Sunyi yang tak terdefinisi, menghampiri aku dan ibu yang telah ditinggal sendiri. Sedang semua warga telah pulang ke tempat mereka masing-masing. Telinggaku masih saja mendengar kata-kata indah dari mereka tentang ayah. Bersama sepi dan hening, air bening mengalir rapi di pipi. Sesekali ibu mengusapnya dengan hati. Ku tatap matanya, ada sejuta duka yang tak terkatakan. Ada selaksa lara yang tak terkira. Ketika itu, hujan turun dan sunyi mendendangkan melodi-melodi sendu. Hujan dan air mata tak dapat dibedakan saat itu. Sama-sama menyampaikan lara.
Rintikan hujan yang semakin deras, membuat saya dan ibu segera meninggalkan bapak dalam keabadiannya. Kami berdua pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, segala cerita tentang dia terpajang di dinding rumah. Canda dan tawanya terurai indah dan rapi dalam suasana hati yang masih terluka parah. Namun, aku mencoba menikmati semuanya. Sedang ibu masih membisu. Aku tahu ia sangat patah setelah ditinggalkan bapak. Dari matanya menjelaskan segala kemiskinanya dalam merelakan dan menerima kehilangan. Ia sangat miskin dan terlalu ringkih untuk menghadapi patah di usia senja. Namun, aku salut terhadapnya, meski usianya telah menua, tetapi tidak cintanya. Cintanya masih suci, murni, bening dan sejuk. Dan dalam hati yang masih menderita, segumpalan tanya masih menggema dalam batinku, tentang ucapan tetangga tentang bapak. Aku sangat lelah dengan gaungan tanya itu.

*****
"Dulu bapakmu pernah menolong keluarga Om Tinus. Ketika itu, Tanta Lena istri Om Tinus sedang dalam keadaan hamil, waktu itu ia mengandung anak kedua mereka. Dan pada suatu ketika, Tanta Lena mengalami kecelakaan. Ia ditabrak oleh seorang pengendara motor, ketika ia hendak menyeberangi jalan. Setelah itu, pelakunya lari dan tidak bertanggung jawab. Untungya bapakmu melewati jalur tersebut. Ia dengan segera membantu Tanta Lena dengan membawa Ia ke Puskesmas Lela. Puji Tuhan, Tanta Lena dan bayinya tidak mengalami masalah. Namun, demi menyelamatkan istri Om Tinus, bapakmu lupa bahwa ia harus langsung ke rumah karena kakamu waktu itu sangat sakit parah. Dan obat masih dibawa oleh bapakmu. Kakakmu tak lagi mampu menahan sakitnya, sehingga ia menghembuskan nafasnya," jelas ibu sambil tersenyum. Aku sangat kaget dan tak percaya, ternyata Max kakakku meninggal karena terlambat minum obat. Hanya karena dengan membantu orang, bapak sampai lupa akan anaknya. Aku tak mampu menahan tangis. Air mataku mengalir deras di kedua pipiku. Di satu sisi, aku ingin bersyukur punya orang tua sepeerti bapak, yang suka membantu. Namun, di sisi lain, gara-gara itu  bapak sampai lupa akan buah hatinya. Dan menjadi orang yang tak mempunyai saudara. Apalagi, ketika aku masih SMA aku harus menyaksikan sendiri, ketika adikku harus pergi untuk selamanya.
Tangan halus ibu terus mengelus bahuku. Dari tanganya seakan menyembunyikan kekuatan suci yang menghapuskan segala sedih. Hilang segala lara dan duka. Mengapa ibu mempunyai kekuatan seperti itu? Tanyaku kepada hati. Dan ia menjawabnya, di atas hati yang luka, ibu telah menyalakan api dupa untuk memuji segala duka, sampai aku lupa, apa itu luka. Dalam hati, ibu telah menganyam kawat suci, untuk mematahkan segala sakit yang sulit usai dan pergi. "Nak, nikmatlah kopi ini," ibu telah menyuguhkan secangkir kopi. Lalu ku mencoba menikmatinya. Memang kopi buatan ibu sangat luas biasa. "Nak, seduhkan segala lukamu pada secangkir kopi, lalu kau taburkan dengan lukamu, kemudian engkau adukan dengan cinta ibu. Setelah itu, engkau akan menikmati indahnya dunia, meski tanpa bapak dan saudaramu," ujarnya. "Pada cangkir itu, engkau akan berjumpa dengan bapakmu. Sebab, cangkir itu adalah cintaku tak akan pernah dingin, meski bapakmu telah lama pergi," tambahnya. Menemukan bapak dalam secangkir kopi. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun