Mohon tunggu...
Kristianus Garman
Kristianus Garman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pecinta Kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Claudya, Gadis Perawat Lara

12 Maret 2024   11:38 Diperbarui: 19 Maret 2024   00:10 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang gadis yang murung. Sumber: Pexels/Sam Pineda

Claudya gadis perawat lara itu telah menjalani hidup yang paling sakit di dunia. Ia telah menjalani hidup dengan memikul seribu derita dipunggungnya. Namun ia tetap tegar. Kini, ia sudah menjadi orang yang dewasa. 

Derita dan luka adalah hal yang mendewasakan dia. Umur merupakan angka dan derita adalah kekuatan untuk mendewasakan. Itulah yang dirasakan Claudya semasa hidupnya. Ia telah mengerti apa itu hilang. Ia telah mengerti apa itu kematian. Terkadang kematian adalah tidur yang paling nyenyak. Yang tak mengenal lagi sakit dan derita.

Di suatu senja yang hampir tenggelam. Ia berdiri sambil memeluk gambar dari kedua orangtuanya yang telah berbaring kaku. Di atas pusara orangtuanya, ia mendekap segala luka dan derita. 

Ia memeluk erat tubuh kedua orangtuanya. Kemudian ia menatap dalam-dalam wajah yang terpampang pada bingkai indah itu. Dalam sayup-sayup senja, ia menulis segala derita di atas hatinya dan di atas pusara orangtuanya. Ia terus berdiri dan mencium berkali-kali wajah yang telah beku dimakan waktu. Muka memang fana, tetapi wajah abadi. Muka adalah hal yang kelihatan. Ia sebatas rupa. 

Sedangkan, wajah adalah bagian transenden dari rupa. Sehingga ia tetap kekal. Abadi. Begitulah definisi yang kudapat dari filsafat wajah Emanuel Levinas.  Mungkin itu yang selalu ada di hati Claudya, sehingga ia selalu memeluk erat gambar orangtuanya. 

Namun, aku sadar Claudya lebih mengerti tentang wajah sesungguhnya. Di atas pusara ayahnya, bait -bait puisi bernada lirih. Sedu sendu dilantunkan. Puisi rindu yang paling gundah diucapkan dari hati dan bibir gadis perawat lara. 

Di saat puisi itu dilantunkan, serentak nyanyian malaikat penghuni bumi membuka langit, lahir rintik-rintik sendu. Hujan dan rindu yang sedu dari puisi kehilangan yang paling merdu dinyanyikan dengan sendu menghujani Claudya di pusara orangtuanya.

Papa dan Mama.... sebakul doa kuhaturkan kepada Tuhan agar kalian bahagia. Ingatlah setiap malam aku terlelap dalam segala luka dan derita.

Papa dan Mama... setiap malam aku menangis, Isyak sendu menelan semua luka-luka nyeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun