Ketika senja mengurai gerimis, isakan lirih penuh sendu dengan lidah yang kelu. Senja dengan balutan gerimis yang menjelma rintik-rintik yang menikam bumi. Yang selalu memisterikan segala alasan, pesan apa yang ingin disampaikan hujan kepada tanah yang menjadikannya basah tak berdaya.
Bersama dengan rintik hujan yang paling hening di antara seribu sepi yang  lama-lama menciptakan rindu yang paling sendu untuk disenandungkan.Â
Terlihat dari kejauhan seorang gadis cantik yang umurnya masih belia. Dari raut wajahnya menyiratkan sekumpulan derita dipikulnya dalam bakul hatinya yang terisi penuh dengan luka yang menganga, suara hatiku mendengung begitu.Â
Ia berlutut di atas pusara ayah dan ibunya telah meninggalkan dia di usianya yang masih sangat muda. Butiran -butiran beningnya jatuh dari matanya bersama gumpalan hujan yang masih setia menjarah tanah.Â
Ia terus berlutut. Sesekali kusaksikan, mulutnya merapal doa. Dari mata yang simpan duka itu, tersirat banyak cerita dan tanya kepada Tuhan.Â
Mengapa Engkau tega mengambil mereka di saat usiaku masih belia, Tuhan? Namun, sang penguasa masih bisu, tak memberi sedikit jawab, meski untuk memuaskan dan mengurangi sedikit deritanya.
Ketika Senja penuh kelam menjemput malam. Ketika matahari meninggalkan peraduannya di ufuk barat, gadis pemeluk luka itu kembali ke rumah dan merebah sebentar, laku terlelap dengan luka yang mengekang tubuh dan jiwanya.Â
Namanya ialah Claudya. Nama yang paling bahagia dan paling indah yang pernah kukenal dalam jejak-jejak hidupku. Nama yang paling indah dan bahagia yang memikul banyak derita pada usianya masih belia.Â
Meskipun derita menderanya, tetapi ia tetap bahagia. Ia adalah wanita yang paling kuat kedua setelah ibuku. Dan paling tabah merawat lara untuk teman -teman seusianya.
Claudya gadis belia. Mata penuh nanar itu, tetap teguh menjalankan hidupnya setiap hari. Ia sangat pandai merangkai dan merangkul derita, lalu membungkusnya rapat-rapat di balik rupanya yang selalu tawa.