Transformasi dari keburukan ini adalah kepala desa dikuasai oleh laki-laki dan korupsi berlaku di tubuh pemerintahan desa sendiri. Akibat persoalan substansi dan pelaksanaan yang begitu rumit, justru menghadirkan bahkan mereproduksi masalah-masalah besar lainnya. Di NTT, misalnya masalah yang begitu sulit diatasi sampai saat ini adalah; kemiskinan hingga pada persoalan human trafficking.Â
Perempuan, Menguatnya Human trafficking
Dalam tulisan Greg R. Daeng (2018) -- Direktur Advokasi J-RUK Kupang, "Nusa Terus Trafficking" menjelaskan sejak tahun 2014, jumlah kasus human trafficking berjumlah 7.193 orang, tercatat 82% dari jumlah tersebut adalah perempuan dan anak-anak, sementara 18% sisanya adalah laki-laki.Â
Perlu diketahui secara bersama, korban human trafficking selalu terjadi di desa. Hal ini menggambarkan bahwa dengan menguatnya human trafficking sejak tahun 2014, sebenarnya menjadi sinyal, Pemerintah desa di NTT belum mampu bekerja secara maksimal untuk membenah persoalan tersebut.
Dengan tidak maksimalnya kerja demokrasi di desa. Secara khusus pengabaian terhadap posisi perempuan. Sehingga tak salah jika angka migrasi perempuan dari NTT keluar negeri pertahun sangat tinggi. Data pertahun 2018 jumlah migrasi perempuan dari NTT yang informal 1365 dan laki-lakinya 0. Sementara yang formal perempuan berjumlah 183 dan laki-laki berjumlah 191, jadi jumlah dari keduanya, perempuan sejumlah 1548 dan laki-laki 191, (Ibid. BPS NTT, 2018).
Memang, terdapat banyak alasan bagi perempuan bermigrasi. Baik itu karena ekonomi, tidak memiliki lahan untuk digarap, rendahnya lapangan kerja di tempat tinggal, dll. Sehingga satu-satunya keputusan yang diambil adalah bermigrasi. Artinya keputusan yang diambil oleh perempuan dari NTT. Setidaknya karena kondisi kehidupan mereka juga dalam keadaan terancam, atau cendrung diabaikan.
Dalam riset yang dilakukan oleh (Daniel, Mulyana, & Wibhawa, 2017), faktor yang menyebabkan kasus human trafficking di NTT, karena kemiskinan, hal ini menyebabkan; Â sulitnya akses pendidikan sehingga indeks pendidikan rendah, tingginya pengangguran, tidak merata pendapatan ekonomi.
Sesungguhnya faktor kemiskinan, bukan merupakan kondisi inheren masyarakat NTT. Melainkan karena banyak hal. Salah satunya dalam analisis kami adalah tidak berjalannya demokrasi lokal. Secara khusus demokrasi desa, karena dengan adanya dana desa yang begitu besar dialokasikan dari pemerintah pusat ke desa, dana tersebut tidak signifikan menurunkan angka kemiskinan dan kejahatan human traficking.
Kita masih menyaksikan, kemiskinan, meningkatnya korban human trafficking, tingginya angka migrasi keluar negeri masih terjadi dan sangat akut. Artinya demokrasi dan pembangunan desa di NTT sejak tahun 2014, paska diputusnya UU Desa. Sesungguhnya tak menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar dari kehidupan masyarakat di NTT. Secara khusus kaum perempuan.
Pentingnya Pemberdayaan Perempuan Desa
Mengatasi persoalan human trafficking di NTT memang membutuhkan kerja jangka panjang. Di tengah sulitnya menerapkan substansi UU Desa dan masih mengokohnya budaya patriarki. Selain itu tidak berjalan maksimalnya mesin demokrasi desa, rupanya kehidupan perempuan di NTT seperti berada diujung tanduk.