Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, telah memberikan arti penting terhadap demokrasi di tingkat lokal, khususnya desa. Apalagi dengan besarnya distribusi Dana Desa (DD) yang begitu besar dari Pemerintah Pusat ke Desa. Hal ini setidaknya menjadi semangat baru dalam mengatasi persoalan yang sudah lama dipikul oleh desa.
Salah satu manifestasi semangat dari UU Desa yaitu memberi kesempatan bagi perempuan desa. Hal ini dipertegas secara konseptual di UU Desa tentang keterlibatan perempuan desa. Pasal 54 UU Desa menjelaskan, kelompok perempuan menjadi pemangku kepentingan. Dan terlibat dalam Musyawarah Desa (MUSDes) dan Musyawarah Rancangan Pembangunan Desa (MUSRENBANGDes). Â
Sementara dalam Peraturan Pemerintah (PP) 43, 2014, Tentang Pelaksanaan UU Desa. Pasal 72, menerangkan pengisian keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dilaksanakan secara demokratis. Serta menjamin keterwakilan perempuan dalam tubuh kelembagaan BPD.
Singkatnya dalam konteks legal formal, mulai dari UU Desa dan PP sebagai turunannya, maka nama perempuan dilibatkan. Tentu tujuan untuk melibatkan perempuan dalam politik formal desa, agar mencapai kesetaraan politik. Upaya seperti ini sifatnya sebagai siasat dalam pembangunan desa. Sehingga pembangunan desa bisa terdisitribusikan kepada perempuan dengan adanya keterwakilan dalam politik formal.
Problem Demokrasi Desa
Kendati demikian, yang ideal dalam UU Desa dan turunannya dengan memberi posisi bagi perempuan desa, ternyata memiliki persoalan, baik yang sifatnya karena budaya patriarki, maupun begitu sulitnya menerapkan UU Desa itu sendiri.
Jika ditilik dari struktur pemerintahan desa di NTT saat ini, maka kita akan disuguhkan data ketimpangan, mengenai jumlah kepala desa berdasarkan jenis kelamin. Data Badan Pusat Statistik (BPS NTT, 2018) menampilkan fakta bahwa jumlah kepala desa yang dipimpin oleh perempuan di NTT sangat rendah yaitu 150 kepala desa. Sementara jumlah desa yang dipimpin oleh laki-laki.Â
Selain persoalan ketimpangan gender. Maka persoalan lain di desa adalah korupsi. Berdasarkan penelusuran Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP). Pengandilan Negeri Kupang periode Januari 2017-April 2019, sebanyak 24 kepala desa di NTT melakukan korupsi terhadap Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD).
Dua persoalan di atas tak dapat dibaca secara alamiah. Jika dilacak lebih dalam, akar persoalannya yaitu: Pertama UU Desa belum mampu mengatasi persoalan budaya patriarki. Ditambah lagi substansi UU Desa dan Peraturannya hanya 'sebatas' menyebut kata keterwakilan di BPD dan melibatkan kelompok perempuan sebagai pemangku kepentingan dalam MUSDes.
Kedua, persoalan korupsi Dana Desa telah terjadi di banyak tempat, tak terkecuali di NTT. Hal ini diakibatkan, UU Desa terlalu rumit dalam pelaksanaannya. Pemerintah desa harus mengikuti mekanisme juknas-juknis dalam UU Desa. Ditambah dengan keterbatasan di tingkat pengetahuan dalam pengelolaan DD tersebut. Tentu dengan tingkat kerumitan seperti ini, membuat para pengambil kebijakan di desa mengalami kesulitan.
Ketika dua persoalan di atas menguat, alih-alih UU Desa akan menyelesiakan ketimpangan struktural dan kesetaraan gender di desa. Sementara UU Desa tidak bersifat afirmasi gender, karena hanya sebatas melibatkan perempuan semata. Selain itu, juga karena kesulitan dalam pelaksanannya. Hal inilah yang membuat demokrasi desa masuk dalam hiruk-pikuk hal-hal yang teknis, dan sifatnya reme temeh.