Mohon tunggu...
KRISTIANUS FOSTERMAN
KRISTIANUS FOSTERMAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS WIDYA MANDIRA KUPANG

MENULIS AGAR ABADI

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kosmologi dan Etika Ekologis

28 Juni 2021   21:27 Diperbarui: 28 Juni 2021   21:34 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KOSMOLOGI DAN ETIKA EKOLOGIS

Oleh:Kristianus Fosterman

Pendahuluan

Pemahaman atau cara pandang kita sangat menentukan cara kita bertindak. Manusia telah memahami dirinya sebagai yang terpisahkan dari kosmos. Sebagai yang memiliki inteligensia untuk menafsirkan kosmos. Memahami alam secara mekanistis, bahwa alam adalah sumber daya yang statis dan membutuhkan manusia sebagai ens rationale untuk dimanfaatkan. Manusia menjadikan alam sebagai yang subordinat terhadapnya, sebatas barang komoditi. Alam sebagai objek eksploitasi demi kepentingan manusia, tanpa mempertimbangkan segala aspek yang lain dari kosmos. Eksistensi alam tidak diperhitungkan lagi sebagai yang memiliki nilai intrinsik. Dalam kondisi seperti ini perlu adanya etika ekologis. Perlu adanya konstruksi pemahaman yang baru mengenai relasi antara manusia dan kosmos secara keseluruhan.

Tulisan sederhana ini hendak mempertanyakan moralitas manusia dalam relasi dengan alam, mempertanyakan keberadaan sains, dan mencoba menawarkan etika ekologis.

Kosmologi Dan Ekologi

Kata kosmologi berasal dari bahasa Yunani dan terkomposisi dari dua kata, yaitu, "kosmos" yang berarti keteraturan (kemudian dalam pemahaman yang berkembang selanjutnya dapat diartikan sebagai alam atau dunia), dan "logos" yang berarti ilmu. Secara harfiah kosmologi berarti ilmu pengetahuan tentang alam atau dunia. Kata kosmologi dipergunakan untuk menunjukkan evolusi kosmis (ilmu empiris), juga digunakan dalam uraian filosofis. Untuk membedakan antara keduanya, dalam uraian filosofis kosmologi kerapkali disebut sebagai "kosmologi filosofis".

Ekologi berasal dari kata Yunani, "oikos", yang artinya rumah, kediaman, dan "logos" yang berarti ilmu. Dari arti katanya dapatlah dimengerti bahwa ekologi adalah ilmu tentang rumah, tentang tempat tinggal kita. Secara lebih luas rumah itu dipahami sebagai lingkungan tempat kita tinggal. Ekologi dengan demikian berkonsentrasi pada perlindungan dan pemeliharaan alam dunia sebagai lingkungan manusia.

Lalu bagaimanakah relasi antara kosmologi dan ekologi? Ekologi jika dipandang dari segi arah normatifnya adalah berjalan paralel dengan kosmologi filosofis. Dengan memperlihatkan jangkauan dan keterarahaanya, ekologi dalam arti tertentu disebut kosmologi empiris. Sebaliknya, kosmologi filosofis dapat dilihat sebagai ekologi filosofis. Dengan demikian kosmologi filosofis dapat menjadi bagian dari suatu ekologi lengkap yang mencakup baik empirik maupun filosofis (Bakker, 1995: 35).

Bentuk-Bentuk Pengrusakan Alam

Kerusakan alam disebabkan oleh peristiwa alam itu sendiri (gempa bumi, tsunami) dan ulah manusia. Namun, kerusakan yang terjadi dalam beberapa abad terakhir ini lebih banyak disebabkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Bentuk-bentuk pengrusakan karena ulah manusia antara lain: pertama, eksploitasi alam. Manusia secara serakah menjadikan alam sebagai objek eksploitasi. Manusia merasa superior atas alam sehingga bertendensi mengeruk alam serta men-deforestasi hutan. Kedua, pencemaran lingkungan. Air, tanah, dan udara terkontaminasi oleh zat-zat beracun yang berasal dari sisa-sisa pembakaran bahan bakar kendaraan, limbah industri, insektisida, pupuk, fungisida, herbisida, limbah rumah sakit, dsb. Ketiga, membuang sampah. Budaya membuang sampah juga turut berkontribusi bagi pencemaran lingkungan. Keempat, pertambangan paling banyak memberikan sumbangan bagi kerusakan alam dan kehidupan sosial demi kelayakan hidup orang kaya dan mengorbankan orang miskin (Muhamad, 2009: 350).

Hingga tahun 2012 tercatat sebanyak 10.677 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dari jumlah IUP tersebut, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) mencatat bahwa sejak tahun 2004 hingga 2012 terdapat 1.724 kasus penambangan yang merusak kawasan hutan secara ilegal. (Nota pastoral KWI, 2012).

Entah itu legal atau pun ilegal tetaplah pada prinsipnya bahwa pertambangan, merusak alam lingkungan hidup manusia. Pengambilan sumber daya dan tanpa mengupayakan perbaikan akan menyebabkan kekurangan sumber daya bagi manusia.

 

Sains: Mitos Modern?

Kalimat ini sedikitnya mengusik para saintis. Mengapa tidak? Sains yang sekian lama dianggap sebagai pembawa pencerahan, yang membongkar misteri semesta serta menaklukkan segala bentuk mitologi, malah dituding sebagai mitos, "mitos modern". Kemenangannya atas mitologi kuno sekaligus menobatkan dirinya sebagai mitologi modern.

Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa sains dituding sebagai mitos modern? Untuk menjawab hal ini kita perlu mengintip sedikit pemahaman mengenai mitologi yunani kuno.

Masyarakat Yunani kuno (zaman pra-filsuf) selalu melihat fenomena alam dalam kaitannya dengan mitologi. Mitos dianggap sebagai jawaban atas apa yang dihidangkan kepada mereka oleh alam. Melalui mite-mite mereka menjelaskan kosmos.      Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya mereka mulai memecahkan persoalan-persoalan itu dengan menggunakan ratio, secara perlahan meninggalkan mite-mite, karena adanya kekaburan di dalam mite-mite dan bahkan membawa mereka pada penyesatan (kekeliruan). Dampak negatif dari mitologi itu adalah bahwa mereka memahami secara salah tentang kosmos. Bukanya membawa pencerahan malah membawa kehancuran, "kehancuran intelektual", dan juga tentunya menentukan sikap mereka dalam berelasi.

Sains dan teknologi dalam arti tertentu dapat disebut sebagai "mitos modern." Tidak bermaksud mengabaikan dampak positif dari perkembangan dan kemajuannya, tetapi perkembangan sains dan kemajuan teknologi justru berpartisipasi, dan turut berkontribusi atas krisis ekologis. Sains dan teknologi bukan saja mendatangkan kemudahan tetapi juga telah mendatangkan kehancuran. Pembangunan besar-besaran, pertambangan, penggunaan teknologi canggih, alat transportasi, bom nuklir, insektisida, perusahaan, industri, fungisida, dsb., telah mendatangkan krisis ekologis, dan bahkan bisa menyebabkan kehancuran kosmos. Tidak sepenuhnya mendatangkan pencerahan melainkan menyertakan juga kehancuran. Hal ini juga mungkin karena pengetahuan dilihat sebagai kekuasaan, kekuatan, bukan kebijaksanaan. Bumi kita dari tahun ke tahun semakin mengalami kehancuran.

Relasi Manusia Dengan Alam

Bakker, dalam bukunya "Kosmologi dan Ekologi" menguraikan hubungan manusia (sebagai substansi) dengan substansi-substansi yang lain (hewan, tumbuhan, benda fisiokimis, dsb.), sebagai pengkosmos yang membentuk dunia. Setiap substansi otonom dalam dirinya. Justru menyadari diri dalam konfrontasi dengan substansi yang lain. Itulah kekhasannya, bahwa pengkosmos sama-sama dalam otonomi dan identitas pribadi, bersama dengan yang lain membentuk kosmos atau dunia. Dengan ini dunia adalah pengkosmos-pengkosmos itu secara bersama.

Aku adalah substansi yang merupakan warga dalam keutuhan dunia. Identitasku pribadi diperoleh dalam konfrontasi dengan substansi yang lain sebagai pengkosmos bertentu. Kebertentuanku sebagai aku ditentukan oleh kebertentuan substansi yang lain. Demikian sebaliknya. Di sini terdapat relasi timbal balik antar-pengkosmos. Saling menentukan dan saling mensyaratkan. Kedua aspek itu selain sejajar, juga sederajat dan seukuran secara mutlak. Relasi antara pengkosmos adalah bipolaritas sinergis yang simetris. (Bakker, 1995: 56). Keseluruhan dunia adalah suatu kolegalitas. Hampir tidak mungkin memahami suatu dunia yang terpecah-pecah, sebab dunia adalah pengkosmos-pengkosmos itu secara bersama.

Manusia adalah bagian tak terpisahkan dari alam sama seperti makhluk hidup dan benda fisiokimis. Manusia bersama makhluk hidup lainnya bersama-sama membentuk dunia dan berhubungan secara timbal balik. Adanya ketergantungan yang mutlak antara yang satu dengan yang lain.

Krisis Ekologis = Krisis Moral

Realitas menunjukkan bahwa krisis ekologis paling banyak disebabkan oleh ulah manusia. Hal ini, karena manusia cenderung menempatkan dirinya sebagai pusat (antroposentrisme) dan tujuan dari segala kegiatannya. Sadar atau tidak tindakan manusia yang merusak lingkungan selalu berdampak pada dirinya sendiri sebagai bagian dari alam. Eksploitasi alam, pengrusakan hutan, pencemaran air, udara, dsb., menciptakan ketidakseimbangan ekosistem, dan dapat sampai pada kehancuran spesies manusia itu sendiri. Tidak ada yang tidak ditanam akan dituai. Sebuah tindakan selalu menyertakan konsekuensinya. Kaum miskin selalu menjadi korban ulah orang beruang. Manusia sebagai manusia dalam kasus ini dipertanyakan. Tindakan manusia bukan lagi humanus (manusiawi), melainkan hominis. Moralitas manusia dipertanyakan. Dalam hal inilah krisis ekologis dipersamakan dengan krisis moral, bahkan bisa ditukar-tempatkan.

 

Etika Ekologis: Ekosentrisme

Di tengah krisis ekologis yang semakin memprihatinkan, etika ekologis berperan penting, yakni menyangkut bagaimana manusia berpikir tentang dan bertindak terhadap alam (Baghi, 2009: 359).

Setelah memahami relasi antara pengkosmos, sebenarnya hampir sudah bisa dipastikan bahwa etika kosmologis itu mestinya mempertimbangkan saling ketergantungan di antara pengkosmos. Yang mengkosmos mustahil dipikirkan tanpa memperhatikan keterkaitannya satu sama lain. Paus Fransiskus, dalam ensikliknya tentang lingkungan hidup, "Laudato Si", mengatakan bahwa, "...semuanya saling terkait..." dan karena itu di tengah krisis ekologis, ia menganjurkan suatu "ekologi yang integral." Sebagian besar kode genetika manusia dimiliki secara bersama oleh banyak makhluk hidup.

Begitu banyak etika yang ditawarkan, dapat disebutkan beberapa, misalnya antroposentris (menekankan sentralitas manusia dalam kosmos), zoosentris (memperjuangkan hak binatang), biosentris (mendukung kehidupan), dan ekosentris (menekankan keterkaitan antar-pengkosmos), namun oleh penulis yang dinilai sangat cocok adalah etika ekosentrisme, yaitu etika yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem (Naif, 2021: 20).

Etika ekosentrisme mengajarkan bahwa manusia adalah bagian dari alam. Dia tidak bisa menonjolkan dirinya dan mencari kepentingan sendiri tanpa mempertimbangkan eksistensi dari yang lain. Manusia harus respek terhadap setiap kehidupan di alam dunia. Oleh karena sejauh dia mengkosmos bersama dengan pengkosmos yang lain, maka dia adalah bagian integral dari semesta atau kosmos yang saling membutuhkan. Manusia tidak lebih superior atas alam. Dengan ini alam dilihat sederajat dengan manusia. Sederajat bukan dalam pengertian bahwa martabat manusia dipersamakan dengan martabat hewan, tumbuhan, barang-barang fisiokimis, melainkan sebagai pengkosmos mereka memiliki peran yang sama dalam membentuk kosmos.

Ekosentrisme, paralel dengan "spiritualitas kosmis". Spiritualitas kosmis menekankan penghargaan dan pemeliharaan atas apa yang kita gunakan. Apa yang kita manfaatkan adalah bagian dari diri kita, oleh karena itu harus dirawat dan diperbaiki bila mengalami kerusakan. Perhatiannya adalah pada "bagian dari diri manusia". Bagian menentukan keseluruhan. Dengan merawat bagian berarti kita merawat keseluruhan. Secara lebih luas bagian itu dimaksudkan sebagai bagian dari kosmos. Maka, dengan merawat bagian itu kita merawat kosmos.

Kesimpulan  

Alam dunia adalah warisan bersama maka perlu diupayakan pelestarian terhadapnya. Perawatan terhadap dunia berarti juga menciptakan kesejahteraan bersama (bonum commune) serta keadilan antar generasi. Bonum commune bukan saja bagi sesama manusia (yang hidup sekarang dan generasi mendatang) tetapi juga bagi pengkosmos yang lain yang bersama-sama dengan manusia membentuk kosmos.

Ilmu pengetahuan mestinya tidak cenderung dilihat sebagai "kekuasaan" (power) melainkan "kebijaksanaan" (wisdom), sehingga dapat digunakan secara bijak. Sains dan teknologi sebagai tanda semakin tingginya budaya manusia berorientasi pada "menyejahterakan" dan "memelihara" kosmos. Dengan begitu keberlangsungan kosmos tetap terjamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun