Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia mempersoalkan diksi "perampasan" pada UU Perampasan Aset. Menurutnya, frasa itu tidak baik digunakan di Indonesia. Kalau frasa "hukuman mati", apa baik di Indonesia? Harusnya substansinya yang dievaluasi, bukan otak-atik diksi kayak gini.
Nasib Undang-Undang Perampasan Aset sepertinya tak akan menyampai garis final. Undang-Undang yang telah diusulkan sejak 2008 ini, hingga tahun 2024 pun, tak kunjung menyentuh jelas dan pasti. Bermain-main dan terombang ambing. Pembahasannya selalu berhenti di draft. Polemik demi polemik sengaja diputar-balik di ruang Badan Legislasi (Baleg). Hingga yang terakhir, Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyebut anomali diksi "perampasan" yang digunakan dalam tubuh UU tidak sesuai dengan ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), dimana frasa yang dipakai adalah "recovery" yang bermakna pemulihan.
UU Perampasan Aset merupakan antitesis dari seluruh prilaku korupsi di Indonesia. Jika selama ini tak ada efek jera yang membekas di sanubari para koruptor, UU Perampasan Aset diharapkan mampu melumpuhkan sistem kekebalan tubuh para koruptor. Isi UU ini sejatinya berupaya membuka tabir penyelubung kekuatan para korupter atas hasil nyopet. Jika selama ini para koruptor mampu meloncat keluar pagar Lembaga Pemasyarakatan sesuka hati dan mendapat menu akomodasi VIP di ruang tahanan berkat sejumlah aset hasil nyolong, maka pengesahan UU Perampasan Aset adalah obat mematikan paling ampuh untuk menahan semuanya.
DPR dan Pemerintah selama ini memang kerapkali berargumen bahwa totalitas dalam memberantas kasus korupsi di Indonesia adalah poin prioritas mereka di masa kepemimpinan. Bahkan agenda pemeberantasan korupsi ini selalu masuk dalam daftar utama etalase kampanye mereka ketika mencalonkan diri. Namun, seiring berjalannya waktu, khususnya ketika kursi kekuasaan telah digapai, tiba-tiba muncul pernyataan-pernyataan yang justru berbalik dengan semangat awal. Misalnya, Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia memberikan pernyataan berikut: "Ya sebetulnya kalau bicara tentang pemberantasan korupsi, tanpa kita membuat UU Perampasan Aset itu sudah cukup."
Pernyataan Ahmad Doli Kurnia sejatinya menyembunyikan sebuah makna pesimis terhadap semangat pengesahan UU Perampasan Aset. Apanya yang sudah cukup? Proses hukum saja sudah cukup? Seharusnya inovasi baru terkait upaya pemberantasan korupsi di Indonesia perlu diberi jalan dan dipraktikkan, bukan sebaliknya diperhambat. Hemat saya, trik-trik pasti agar lolos dari jeratan produk UU yang dibuat sendiri tengah diupayakan di ruang Baleg DPR RI. Sebagai wakil rakyat, DPR seharusnya menempatkan perangkap koruptor berwujud UU Perampasan Aset ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029. Ketika masuk dalam Prolegnas, UU Perampasan Aset setidaknya bisa diterapkan di awal tahun 2025.
Mekanisme kajian berulang-ulang yang seringkali diutarakan anggota DPR RI terkait pengesahan UU ini harus memiliki kata final. Kita tidak bisa bersembunyi di balik kata "menguji, mengkaji, dan konsolidasi" secara terus-menerus. Pasalnya, UU Perampasan Aset itu sendiri sudah diusulkan sejak 2008. Apakah rentang waktu 16 tahun tidak cukup bagi DPR RI untuk mengesahkan? Jika kita bandingkan dengan UU Cipta Kerja atau UU Pemilu yang dikebut dalam waktu semalam, kenapa UU Perampasan Aset ini sangat molor? Semakin lama draf UU ini disahkan, semakin banyak koruptor yang merasa nyaman dengan kasus korupsi. kekhawatiran publik itu sebetulnya wajar -- ada kecurigaan UU Perampasan Aset bakal ditaruh di tumpukan paling bawah dan lama-lama dilupakan.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) umu Baleg DPR RI dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat pada Kamis (31/10/2024), Ahmad Kurnia Doli mulai mengorek-ngorek diksi yang dipakai dalam UU Perampasan Aset agar terlihat sempurna. Doli berpandangan bahwa penggunaan diksi "perampasan" dalam RUU Perampasan Aset tidak tepat. Menurut Doli, bila mengacu pada ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), frasa yang dipakai adalah "recovery" yang bermakna pemulihan.
"Di dalam UNCAC itu, istilah yang digunakan adalah "stolen asset recovery," ya. Kalau "recovery" itu, ya pemulihan. Lantas kenapa kita memilih frasa perampasan dibandingkan frasa pemulihan," katanya dalam rapat dengar pendapat umum Baleg dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, Kamis, 31 Oktober 2024.
Ahmad Doli Kurnia menganggap penggunaan kata "perampasan aset" kurang tepat diterapkan di Indonesia. Doli juga mempertanyakan dasar dipilihnya kata perampasan tersebut. Dasar pilihan kata "perampasan" tentu ditenun oleh DPR sendiri. Doli juga mengatakan: "Kalau kita mau lucu-lucunya saja, UU Perampasan Aset, apakah diksi perampasan itu baik untuk negara kita ini? Kalau kita setiap hari ketemu orang dirampas atau merampas, kira-kira itu berlaku baik atau tidak?"
Kata "perampasan," hemat saya, setimpal dengan dengan perbuatan yang dilakukan para koruptor. Di Indonesia kejahatan korupsi sejatinya masuk dalam term "extra-ordinary crime." Wajar jika UU yang digunakan diberi kode "Perampasan Aset." Untuk kasus narkoba dan kejahatan berjenis kelamin "extra-ordinary crime" lainnya kita mau mengadopsi frasa kejam seperti "hukuman mati." Jika kata "perampasan" menurut Doli terlalu vulgar untuk diterapkan, apakah kita perlu menerapkan hukuman mati saja untuk mereka yang tersandung kasus korupsi? Mungkin kata "hukuman mati" lebih lumrah dan sudah sering digunakan di negara kita.