Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sikap Tegas Prabowo Hentikan Ekspor Pasir

24 Oktober 2024   16:57 Diperbarui: 24 Oktober 2024   17:01 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Pasir yang terhampar di beberapa Kepulauan Riau (Pulau Bintan, Lingga, dan Karimun) itu tidak muncul begitu saja. Butuh ratusan ribu tahun atau bahkan jutaan tahun agar bisa terbentuk. Butuh jutaan tahun agar bisa memperlihatkan keindahannya. Dari waktu yang begitu panjang, kenapa kok sekarang dengan mudah kita mau menjualnya? Apa karena kita tak tahu bagaimana memanfaatkannya sampai harus dibuang (diekspor) ke luar? Apa kita terlalu kaya?

Jika pasir yang diekspor, semua pasti tak menyetujui. Alhasil, agar tetap bisa diekspor, dicarilah istilah baru yang sebetulnya masih memberi penjelasan substansial pada definisi material yang bakal diekspor itu. Menurut Mantan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, apa yang diisap dan akan dijual ke luar negeri, sejatinya bukanlah pasir. Nama yang tepat menurutnya adalah sedimen. Dalam peraturan pemerintah yang ditekennya sendiri, hasil sedimen laut yang dimaksud adalah lumpur beserta pasir laut. Jadi, ada pasir berwujud lumpur yang diekspor.  

Pada tahun 2030 nanti, kebutuhan lahan kosong di Singapura yang sedikit demi sedikit mulai padat, bakal meningkat. Kebutuhan lahan dalam kurun waktu lima tahun mendatang bisa mencapai angka 76.000 hektare (dari semula 71.400 hektare). Dari data The Straits Time, 19 Agustus 2024, Singapura bakal membangun kembli pantai selatannya dengan garis pantai sepanjang 120 kilometer yang membentang dari Terminal Pasir Panjang hingga Terminal Feri Tanah Merah (Tempo, 6 Oktober 2024: 76). Rencana perluasan ini pada dasarnya membutuhkan banyak material pasir yang akan dipakai untuk membuat beberapa pulau buatan dengan desain rumah-rumah baru dan kawasan elite.

Mega proyek Singapura ini secara terang-terangan membutuhkan pasokan pasir dalam jumlah yang besar. Hitungannya, untuk menguruk lahan seluas 1 kilometer persegi, pasokan pasir yang akan dibutuhkan adalah sekitar 37,5 juta meter kubik. Dalam catatan sejarah, negara penyuplai pasir untuk aktivitas reklamasi pantai Singapura -- Marina Bay, misalnya -- adalah negara tetangganya, yakni Indonesia. Saat itu, pasokan pasir sebelum kebijakan moratorium ekspor pasir laut tahun 2004 dikeluarkan, diambil dari wilayah sekitaran Kepulauan Riau. Jenis pasir di Kepulauan Riau, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Pasir Laut Indonesia Kepulauan Riau Herry Tousa, merupakan jenis pasir yang sangat diminati Singapura dan memiliki nilai jual yang mahal. Harga per meter kubik, menurut Herry, berkisar S$ 20-24.

Kualitas pasir Indonesia yang begitu baik dan stok persediaan yang begitu banyak, membuka kran semangat pemerintah untuk kembali melakukan kegiatan ekspor. Meski ada berbagai kritikan yang muncul terkait kebijakan ekspor pasir ini, Joko Widodo tetap bersikukuh untuk menandatangani peraturan izin ekspor. Dalilnya, yang diekspor ke Singapura itu nantinya, bukanlah pasir laut, melainkan hasil sedimen laut berupa lumpur dan pasir laut. Pembelokan istilah ini bertujuan untuk memuluskan kegiatan ekspor. Lebih parahnya lagi, pembelokan istilah ini diikuti dengan penjelasan bahwa sedimen yang diekspor adalah lumpur yang mengganggu lalulintas perjalanan kapal di sekitar Kepulauan Riau.

Pertanyaanya, "Jika memang sedimen laut berupa lumpur yang diekspor, apakah Singapura sebagai pasar penerima, mau membeli?" Lumpur sejatinya tak pernah dipakai untuk menguruk pantai atau membuat pulau. Bahan dasar pembuatan pulau dan berbagai reklamasi lainnya selama ini, justru pasir. Kisruh pun mulai melebar ke mana-mana. Selain pembelokan istilah, benturan kepentingan lintas kementerian juga terlihat. Kemneterian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengklaim bahwa locus material pasir merupakan wewenang kementeriannya. Tak hanya KKP, problematika kandungan demand pasir silika yang ada pada biji pasir justru dikapling menjadi tanggung jawab Kementerian  Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Hulunya, kementerian lain yang ikut berebut zona izin adalah Kementerian Perdagangan (Kemendag). Kementerian Perdagangan, dalam hal ini berjibaku menentukan besaran tarif pasir yang akan diekspor.

Saling perang kepentingan lintas kementerian ini, hemat saya bukanlah sebuah perbedaan pendapat semata. Hal ikhwal di balik upaya saling tendes kebijakan dan regulasi izin, sejatinya menunjukkan bahwa nilai bisnis ekspor pasir ini sangat menggiurkan. Tindakan masing-masing kementerian untuk mengkapling sekaligus mempertahankan zona perizinannya merupakan sebuah tendensi ambisius bahwa di balik bagi-bagi kuota perizinan, ada nilai dollar yang tengah dikejar. Dan, menariknya lagi, semua kompetisi ini bersumber dari satu tangan, yaitu Joko Widodo. Ulah Jokowi membuka kembali kran izin ekspor pasir laut justru membawa petaka bagi keberlangsungan masa depan negeri dan lahan rebutan cuan para pengusaha.

Penggunaan istilah yang mengelabui publik demi memuluskan proses izin ekspor pasir ini, hemat saya, merupakan akal-akal pemerintah saja. Dugaan yang mencuat terkait "mutasi istilah" terkait "ekspor pasir" menjadi "hasil sedimentasi laut berupa lumpur" adalah upaya Joko Widodo memberi pintu masuk bagi investor asing -- khususnya dari Singapura -- untuk berinvestasi di Ibu Kota Nusantara (IKN). Tempo mencatat ada sekitar 66 perusahaan yang saat ini tengah antri menunggu izin ekspor. Perusahaan-perusahaan ini bisa saja berafiliasi dengan pejabat yang mengeluarkan kebijakan izin ekspor. Dari sinilah gurita bisnis ini melilit ke mana-mana.

Alih-alih meneruskan izin ekspor pasir laut, pemerintah harusnya memikirkan dampak jangka panjang terkait eskpor pasir. Kalkulasi bukan soal untung-rugi hasil kegiatan ekspor pasir. Dampak yang mungkin belum dirasakan adalah rusaknya ekosistem laut karena aktivitas pengerukan dan tenggelamnya pulau-pulau di pesisir pantai. Dampak ini bukan tidak mungkin membahayakan warga yang menghuni pulau-pulau di dekat aktivitas pengerukan pasir. Selain membahayakan masyarakat, aktivitas keruk pasir ini juga melumpuhkan mata pencaharian nelayan-nelayan. Lokasi penambangan pasir sudah pasti akan disteril dan jauh dari aktivitas nelayan pencari ikan. Ini tentunya hanya sebagian dari daftar dampak buruk yang bakal timbul akibat aktivitas ekspor pasir.  

Harapan besarnya justru bertumpu pada presiden terpilih saat ini, yakni Prabowo Subianto. Jika menilik retorika pembuka Prabowo saat dilantik, agaknya karakter nasionalisme itu bisa terbaca. Prabowo harusnya mampu melihat celah-celah berbahaya di balik kebijakan izin ekspor pasir laut. Masyarakat tidak butuh sikap setengah-setengah dengan cara menunda izin ekspor pasir laut seperti yang dilakukan politikus Partai Gerindra. Hal yang dibutuhkan justru sikap tegas seorang Prabowo. Sebelum finalisasi proses eksperimen sampel pasir, Presiden Prabowo harusnya mencabut kembali kebijakan izin ekspor pasir ke luar negeri. Sikap tegas juga dinanti, jika Prabowo Subianto mau menegur pejabat-pejabat tertentu yang bermain mata dengan para pengusaha demi memuluskan izin ekspor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun