Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Watak Militer untuk Kabinet Bahenol

17 Oktober 2024   14:54 Diperbarui: 17 Oktober 2024   14:54 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden terpilih Prabowo Subianto bersama calon menteri mengadakan pembekalan di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Foto: ugm.ac.id/id.

Retret para Menteri besutan Kabinet Prabowo-Gibran hingga hari ini, Kamis (17/10/2024) masih berlangsung di Pondok Garuda Yaksa, Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Retret calon menteri ini sejatinya membicarakan persiapan taktik dan zig-zag teknis terkait postur Kabinet Prabowo-Gibran lima tahun ke depan. Tiga tema besar yang akan digempur hari ini, antara lain terkait Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence), Komunikasi, dan Lapangan Kerja Masa Depan.

Kali ini, saya sejatinya tidak akan membahas mengenai tema yang akan dijadikan pundi-pundi perjalanan para menteri selama lima tahun ke depan. Hal yang justru saya soroti adalah jumlah pemain dalam kabinet ini, yang mencapai angka 100 orang (akumulasi 50 menteri plus wakil menteri). Angka ini, bukanlah angka yang kecil. 

Dengan kekuatan mekanisme sistem pemerintahan Presidensial, jumlah 100 anggota kabinet justru bakal menguras banyak biaya. Perubahan nomenklatur demi alasan akomodatif -- dalam bahasa Presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai upaya "merangkul semua" -- justru menjadi catatan krusial di masa pemerintahan yang akan datang.

Secara matematis, kalkulasi 100 anggota kabinet (Menteri dan Wakil Menteri) tidak terlalu efisien untuk sebuah negara dengan sistem pemerintahan Presidensial. Jika menilik ke belakang, pasca tumbangnya rezim Orde Baru, jumlah kabinet di setiap kementerian biasanya hanya menyentuh angka 30-an. Misalnya, era Presiden Abdurrahman Wahid, hanya ada 35 kementerian. 

Sedangkan di era Presiden Megawati Soekarnoputri hanya 30 kementerian. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode memimpin, jumlahnya sedikit bertambah menjadi 34 kementerian. Jumlah ini kemudian dipertahankan oleh Presiden Joko Widodo hingga 2024, dengan jumlah 34 kementerian.

Sejarah pernah mencatat bahwa Indonesia pernah memiliki Kabinet Gendut dengan nama Kabinet Dwikora II era Presiden Soekarno. Kabinet ini terdiri dari 132 pejabat menteri dan pembantu Presiden setingkat menteri. Pembentukan 100 Kabinet di era Soekarno ini pada intinya menjawab suatu tantangan besar kala itu, yakni gempuran Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Kala itu demonstrasi besar-besaran menuntut agar Soekarno membubarkan PKI, membersihkan kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI, dan permintaan untuk menurunkan harga serta perbaikan ekonomi nasional (Tritura). Konteks inilah yang kemudian dipakai Soekarno untuk kembali menyatukan semua elemen bangsa dan negara, yakni mencetus Kabinet Gendut dengan nama Kabinet Seratus Menteri.

Jika ditarik ke situasi sekarang, latar belakang dengan tesis yang sama berusaha diilustrasikan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto. Negara Indonesia yang begitu besar, menurut Prabowo, memungkinkan kita untuk merangkul semua elemen bangsa untuk bekerja sama. 

Dalam hal ini, Prabowo berusaha memperlihatkan bahwa postur negara yang begitu luas justru menjadi sebuah tantangan bagi pemerintahannya ke depan. Alhasil, Kabinet Gemuk pun dibentuk. Padahal, jika direfleksikan secara mendalam, postur Indonesia yang gemoy, seharusnya menjadi kekuatan besar bagi sebuah bangsa menghadapi masa depan. Tantangannya justru terletak pada efektivitas tata kelola birokrasi dan efisiensi penggunaan anggaran negara.

Tantangan besar Prabowo saat ini, yang pertama justru terkait bagaimana mengelola bujet rumah tangga negara sesuai kebutuhan dan meminimalisir hutang yang semakin menyandera bangsa. Menurut data April 2024, utang pemerintah pusat sudah menyentuh angka Rp 8.338,43 triliun. Angka ini mungkin bukan hitungan keseluruhan hutang yang ada saat ini, tidak termasuk hutang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan aktivitas transaksi lain yang belum diakumulasi keseluruhannya. Inilah tantangan Prabowo sebenarnya ke depan. 

Dengan jumlah hutang sedemikian gemuk, harusnya perampingan kabinet dan birokrasi menjadi mega proyek yang perlu dibangun lima tahun ke depan. Memperlebar postur kabinet dengan tantangan baru bernama nomenklatur baru, justru akan membuka kran kucuran dana yang tak main-main. Untuk perombakan kementerian dan nomenklatur baru saja, pemerintahan Prabowo-Gibran sudah menelan angka triliunan rupiah. Itu baru permulaan.

Keanggotaan dengan jumlah yang banyak, tentu menuntut pembiayaan yang banyak juga. Ibarat membuka sebuah instansi baru, kekuatan finansial harus benar-benar kekar-berotot. Dari pimpinan sampai petugas kebersihan, itu semua tentunya akan diperhitungkan lagi. Dari kop surat hingga jenis seragam yang akan digunakan aparatur, semuanya akan dibahas satu per satu, mulai dari awal. Parahnya lagi, orang-orang yang bakal duduk di kursi menteri yang baru ini adalah orang-orang lama. Mereka mungkin duduk untuk mengamankan aset dan usaha mereka ke depan. Biasanya kan sebagian besar mereka datang dari kalangan elite parpol dan pengusaha. Suburlah dan makmurlah kalian.  

Tantangan kedua yang bakal dihadapai Prabowo Subianto adalah kerumitan tata kelola pemerintahan. Dengan 34 jumlah kementerian saja, amburadul dan tumpang tindih kebijakan tidak bisa dihindari.

Contohnya, untuk izin ekspor pasir saja, para pengusaha harus melewati beberapa kementerian, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, dan sejumlah Badan lain yang serupa. Ini saja sudah ruwet banget. Semua izin lokus kementerian ini bukan hanya menyediakan tantangan terkait keruwetan regulasi, tetapi juga soal berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan serfikat izin.

Gurita izin lembaga dan tumpang tindih regulasi ini, alhasil menciptakan ladang korupsi baru yang semakin terlembagakan. Dulu ketika Presiden Jokowi terpilih kembali pada Pemilu 2019, Jokowi pernah membentuk sebuah lembaga yang namanya Staf Khusus Millenial Presiden. Dari awal pembentukan sampai saat ini pun, saya tidak tahu apa saja gebrakan Staf Khusus Millenial besutan Jokowi ini. 

Kecurigaan terbesar saya justru memperlihatkan bahwa jumlah kementerian yang banyak ini bakal menciptakan pos-pos bujet yang bansor, keruwetan sistem birokrasi, dan tumbuh suburnya lahan korupsi baru di kemudian hari. Alih-alih membentuk kabinet untuk menjawab tantangan bangsa dan negara, kabinet bansor justru akan membuka pos-pos permasalahan baru di era pemerintahan baru.

Hemat saya, apa yang perlu diperkuat dan menjadi proyek besar saat ini adalah penguatan tata kelola pemerintahan, penguatan ekonomi nasional, dan pemberantasan korupsi. Tiga tuntutan sekaligus tantangan besar ini harusnya menjadi program prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan. Penguatan tata kelola pemerintahan, dalam hal ini bisa dimulai dari upaya perampingan birokrasi dan regulasi. Tumpang tindih kebijakan harus diurai dengan baik demi kelancaran proses tata kelola pemerintahan yang efisien dan efektif. Dalam hal ini, kuantitasnya tidak perlu ditambah. Kualitasnya yang perlu di-upgrade.

Di pos penguatan ekonomi nasional, pemerintahan Prabowo-Gibran mesti lebih fokus pada pemberdayaan ekonomi nasional dengan memperhatikan titik-titik pertumbuhan ekonomi baru dan penciptaan lapangan kerja baru. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang efektif juga menjadi kunci. Jangan sampai SDA kita hanya dikelola dan dinikmati segelintir orang saja. 

Hal terakhir yang tak kalah penting adalah bagaimana membasmi penyakit korupsi yang kian hari kian masif di setiap tubuh instansi. Penguatan regulasi dengan basis hukuman yang membuat orang jera adalah sebuah prestasi jika Prabowo mau memulainya. Di sinilah watak militer seorang Prabowo Subianto ditunggu: "Bagaimana watak militer Prabowo mampu mendobrak markas besar laboratorium korupsi bangsa ini dan jentik-jentik baru yang saat ini tengah menjamur."

    

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun