Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mencari Suaka Politik di Luar Kandang Banteng

26 Oktober 2023   23:21 Diperbarui: 26 Oktober 2023   23:36 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Kandang itu ibarat rumah. Di dalamnya tersedia banyak hal -- pokoknya semua tersajikan. Meski semuanya tersedia, tinggal di dalam kandang, kadang tak membuat seseorang bebas. Kebebasan di dalam kandang, kadang dibatasi. Batasan dalam kandang, biasanya berwujud aturan. Ya, gitulah. Namanya kandang, pasti ada sesuatu yang membatasi. Keluar-masuk kandang juga ada waktunya. Terlalu lama di luar kandang juga cukup berbahaya. Tragisnya, momen ketika salah satu anggota melompat keluar dari kandang justru malah menjadi momen menakutkan bagi semua anggota yang bermukim di dalam kandang.

Politik Tanah Air akhir-akhir ini, heboh dengan drama lompat kandang. Aksi lompat keluar kandang kali ini, dilakukan oleh salah satu anggota partai politik (parpol) yang akan berlaga di Pilpres 2024 mendatang. Aksi lompat kandang memang sudah diketahui dan diprediksi tetangga sebelah. Gonjang-ganjing aksi lompat kandang, yang kemarin hanya menjadi buah bibir di tengah masyarakat, kini justru menjadi nyata di kertas suara. Gibran Rakabuming Raka Putra Sulung Presiden Joko Widodo kini telah melompat keluar dari kandang yang konon membantu sekaligus membesarkannya menjadi Walikota Solo. Gibran kini tak lagi nongkrong di warkop PDIP sebagai titik kumpul. Gibran, kini justru memilih kandang lain untuk meningkatkan pengetahuan politiknya.

Ketika keluar dari kandang -- tepatnya kandang banteng, Gibran justru diterima di kandang-kandang yang lain. Sebelum menuju kandang yang lain, Gibran pertama-tama mencari naungan. Tak lama mencari, naungan teduh berupa beringin rimbun hadir mendekat. Di bawah naungan beringin inilah, Gibran akhirnya mendapatkan suaka. Bukan kebetulan Gibran berteduh di bawah naungan rindang pohon beringin.

Gibran diusung Golkar sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto. Foto: https://news.republika.co.id
Gibran diusung Golkar sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto. Foto: https://news.republika.co.id

Kepolosan Gibran untuk memilih bernaung di bawah beringin justru membuat beringin akhirnya memutuskan untuk mengadopsi Gibran sebagai pucuk tertatas yang perlu dilihat banyak orang. Dari naungan beringin, Gibran kemudian di diangkat ke permukaan. Ia disanjung, dipuja, diberi tumpangan, dan dijadikan maskot untuk bertanding. Gibran pun tak pernah menolak. Sebagai seorang pencari suaka di luar kandang banteng, Gibran harus dijaga, diberi fasilitas, dan diberi panggung mewah. Inilah permainan politik. Permainan yang tak memerlukan banyak tema etika, moral, dan sopan santun. Yang dikejar hanya kekuasaan dan jabatan semata.

Lanjut cerita, kini para penghuni kandang -- tepatnya kandang banteng -- mulai kewalahan untuk memperbaiki pintu keluar-masuk anggota. Pintu memang masih terbuka untuk mereka yang sudah keluar dan ingin masuk kembali ke kandang. Deadline waktu pulang pun tak lagi dipakai sebagai syarat utama pendisiplinan anggota yang ada di dalam kandang. Kapanpun mereka yang hilang mau masuk kembali ke dalam kandang, pintu tetap akan terbuka dan dibuka.

Pertanyaanya adalah "Apakah Gibran yang telah lompat keluar dan lari terlampau jauh dari kandang tidak akan tersesat di luar sana?" Melompat keluar pasti ada resiko. Tersesat tentu jadi konsekuensinya. Gibran melompat dengan tahu, sadar, dan mau. Itu artinya Gibran tahu kalau dirinya bakal tersesat di kemudian hari. Tepatnya kapan, waktu masih menanti. Di rumah atau kandang baru, Gibran pun terlihat dielu-elukan, diacungi jempol, dan dikasih sorak-sorai dan tepuk tangan meriah. Sama sekali berbeda. Sesuatu yang mungkin ditemui Gibran di kandang banteng sebelumnya.

Di luar kandang banteng (PDI-P), Gibran tak hanya diam. Sebagai orang baru dengan semangat muda, Gibran berusaha mencari suaka baru agar ia sendiri bisa survive dalam hal perjalanan politik ke depannya. Sebagai seorang pencari suaka politik, Gibran harus gemar bersilaturahmi ke berbagai rumah atau kandang. Di sana, Gibran juga harus menemui kepala-kepala kandang untuk mendapat restu menuju puncak.

Sekali Gibran melompat, jalan pulang menuju rumah pun tak lagi diingat. Pamit tak lagi dimungkinkan. Kandang yang tadinya membantu pertumbuhan dan perkembangan Gibran, kini tak lagi berkuasa atas Gibran. Relasi kuasa pun hilang seketika. Di luar kandang, upaya mencari suaka pun berhenti secara tiba-tiba. Belum sempat mencari, tempat naungan tiba-tiba disuguhkan. Tak perlu banyak waktu. Di luar kandang, Gibran tak lagi dikhawatirkan. Gibran mendapat bantuan suaka begitu banyak. Gibran melompat akhirnya bukan sekadar mencari suaka, tetapi mungkin karena ingin bebas. Atau mungkin karena bosan. Semuanya mungkin. Hanya Gibran yang tahu.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun