Posisi Demokrat dalam mengambil keputusan mendukung salah satu bacapres -- Ganjar PranoWO Â atau PraboWO Subianto marupakan sebuah keputusan bersejarah dalam neraca perpolitikan Demokrat.Â
Pilihan Demokrat atas salah satu dari dua bacapres ini tentunya membuka pintu tirai yang selama ini dikunci Demokrat dalam melihat istana. Artinya, memilih PraboWO atau PranoWO pada akhirnya membuat visi Partai Demokrat pun berubah sesuai visi koalisi. Bahkan, jika harus tegak lurus dengan Joko Widodo, Demokrat harus berani menerima segala konsekuensi yang bakal diditerima.
Bergabungnya Demokrat nanti ke dalam kubu Koalisi Indonesia Maju (KIM) tentu membuat postur KIM semakin besar dan obesitas. Koalisi gemuk tentunya memberi dampak pada etos kerja partai politik dalam memenangkan jagoan yang dipilih. Masuknya Demokrat tentu memperkuat elektabilitas Prabowo Subianto dalam kontestasi Pilpres 2024.Â
Selanjutnya, siapapun bacawapres yang mendampingi Prabowo Subianto nanti, juga akan mendapatkan pengaruh yang besar pada partai yang menaunginya. Secara resmi Demokrat sendiri tidak akan memaksa kadernya AHY untuk diajukan sebagai bacawapres pendamping Prabowo Subianto. Akan tetapi, jika ada tawaran, Demokrat tentu akan terbuka untuk menerima. Meski pada akhirnya Demokrat harus bergabung dengan aliran "Jokowi," Demokrat tetap akan kehilangan nama dan "echo" secara elektoral karena gagalnya AHY masuk ke dalam kertas suara Pilpres sebagai bacawapres. Hemat saya, ini menjadi semacam pukulan besar bagi Partai Demokrat selama masa kepemimpinan AHY. Â
Keluarnya Demokrat dari poros Koalisi Perubahan tentunya membuat AHY tak mendapat tiket di kursi cawapres. Ketika AHY kehilangan kesempatan menjadi cawapres di Koalisi Perubahan, misi Demokrat untuk memanggil kembali semangat elektoral parpol pun pelan-pelan memudar.Â
Dalam hal ini, AHY pasti dinilai gagal membawa Demokrat ke pucuk kekuasaan selama satu dekade belakangan. Kekuatan lobi AHY akhirnya dinilai tak terlalu memengaruhi ketika masuk ke bilik tawar-menawar politik. Jalan satu-satunya sekarang tidak lain adalah bergabung dengan salah satu koalisi yang "tegak lurus" dengan Jokowi. Tegak lurus berarti memaksa Demokrat untuk melepas status sebagai partai oposisi pemerintah.
Menjadi tim koalisi pendukung Prabowo Subianto bagi Demokrat berarti merelakan tiket bacawapres hilang. Demokrat akan duduk sejajar dengan Golkar, PAN, PBB, Gelora, dan Gerindra dalam mengejar suara konstituen ke depan.Â
Adaptasi Demokrat ke dalam kubu "tegak lurus dengan Jokowi" tentunya bukanlah hal yang mudah. Tegak lurus berarti Demokrat secara tidak langsung ditarik masuk ke lingkaran Jokowi. Sirkus politik pun dimulai dari sana.Â
Pudarnya gema politik Demokrat pun membuat taji politik semakin tumpul. Dengan demikian, Demokrat harus kehilangan momentum untuk masuk ke kertas suara Pilpres dan berani merelakan masa sebagai partai oposisi pemerintah selama 10 tahun.Â
Di kubu Koalisi Indonesia Maju (KIM), Demokrat pasti akan lebih legowo mengingat Demokrat sempat menjadi "the arch rival" saat mengusung Anies Baswedan. Jika nanti masuk ke KIM, Demokrat menjadi partai terakhir yang mendeklarasikan diri mendukung Prabowo Subianto.