Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Menggagas Matra Tempur Baru Bernama Angkatan Siber

10 Agustus 2023   20:16 Diperbarui: 14 Agustus 2023   14:35 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angkatan Siber sebagai sistem pertahanan militer baru TNI. Sumber: KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO

Sejak 2009 silam, Amerika Serikat telah meluncurkan matra komando militer siber bernama United States Cyber Command (US StartCom). Sejak US StartCom ini diluncurkan, Amerika Serikat kemudian mendeklarasikan bahwa internet dan dunia digital sebagai matra tempur terbaru.  

Setelah tiga matra angkatan ditetapkan sebagai benteng pertahanan negara Indonesia, kini muncul wacana penambahan angkatan keempat, yakni Angkatan Siber (AS). Tiga matra angkatan sebelumnya yang kita kenal secara umum adalah Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU).

Angkatan Siber (AS) disinyalir akan memperkuat operasi keamanan yang terjadi di dunia digital. Gagasan ini mencuat setelah disinggung oleh Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto.

Gagasan penambahan matra Angkatan Keempat ini (Angkatan Siber) tentunya diinspirasi oleh negara tetangga (Singapura) yang baru saja menerapkan sistem keamanan siber di portal keamanan negaranya. Singapura, menurut Andi Widjajanto, telah menerapkan Digital and Intelligence Service sebagai benteng pertahanan perang di dunia siber.

Gagasan Andi Widjajanto tentunya mendapat respons dari Anggota Komisi I DPR RI Rizki Natakusumah. Menurut Rizki Natakusumah, gagasan penetapan Angkatan Siber justru akan memperkuat lembaga keamanan siber di Indonesia.

Perang melawan pelaku kejahatan siber (cybercrime) memang bukanlah hal yang mudah. Pelaku kejahatan yang bermukim di sebuah negara tanpa indentitas (dunia maya) ini, sesungguhnya memiliki pengetahuan kejahatan yang luar biasa.

Akhir-akhir ini bahkan, seringkali kita mendengar ada sejumlah orang yang menjadi korban pelaku kejahatan siber. Motif, cara, dan tujuan para pelaku kejahatan siber ini pun sangat bermacam. Kejahatan siber ini barangkali menyerang semua kalangan—tak terkecuali kaum terdidik. Ketika jenis kejahatan ini menjadi ancaman berbahaya untuk bangsa dan negara, penting bagi sebuah negara untuk membentuk matra pertahanan militer tersendiri, yakni Angkatan Siber.

Jika kita berkaca, di darat, negara telah mempersiapkan matra militer bernama Angkatan Darat (AD). Di laut, negara juga telah mempersiapkan sistem pertahanan militer bernama Angkatan Laut (AL). Begitupula di udara, yakni Angkatan Udara (AU).

Seiring berkembangnya teknologi dan meluapnya arus migrasi ke dunia digital, penting bagi sebuah negara untuk memperhitungkan sistem keamanan yang ada di ruang digital.

Hal ini menjadi penting mengingat pola-pola kejahatan di dunia digital semakin hari semakin meningkat dan berbahaya. Kehadiran matra keempat Angkatan Siber (AS), sejatinya pelan-pelan mengatur kembali lalulintas keamanan di ruang digital. 

Dengan operasi militer di ruang maya, para penjahat siber bisa dikendalikan secara teratur.

Gagasan penerapan komando militer keempat Angkatan Siber ini tentunya perlu dimulai dari sekarang. Jika kita menelisik sejarah lahirnya tim Digital and Intelligence Service, negara Singapura bahkan membutuhkan waktu tujuh tahun untuk mempersiapkan segala sesuatu.

Singapura sendiri baru meresmikan matra komando militer Angkatan Siber mereka pada Oktober 2022 lalu. Pada peresmiannya, ada 3.000 pasukan yang bergabung. Jumlah ini tentunya akan terus berkembang pada tahun-tahun mendatang. 

Waktu tujuh tahun untuk mempersiapkan pengembangan komando militer Angkatan Siber ini memang telah melewati peninjauan yang mendalam.

Setelah melewati waktu tujuh tahun peninjauan, negara sekelas Singapura akhirnya mau menerapkan matra Angkatan Keempat ini tentu dengan pertimbangan yang mendalam—terutama terkait keamanan para pengguna (user) saat tengah bermigrasi ke ruang digital.

Bagaimana dengan negara-negara lain? Beberapa negara di dunia memang telah mempersiapkan unit khusus pasukan siber sebagai mekanisme pertahanan dan keamanan negara.

Pasukan khusus keamanan siber ini bertugas untuk menghimpun segala usaha pertahanan sekaligus upaya serangan balik dalam peta perang siber.

Amerika Serikat, misalnya, telah membangun sistem komando khusus dalam membentengi diri dari serangan siber. Amerika saat ini telah memiliki sistem operasi militer dunia siber bernama United States Cyber Command (US CyberCom).

Unit khusus pasukan siber ini mulai berdiri sejak 2009 sebagai antisipasi atas serangan terhadap jaringan komputer dan infrastruktur komunikasi di negara tersebut. Kementerian Pertahanan Amerika pada 2011 bahkan telah mendeklarasikan bahwa dunia maya merupakan matra tempur terbaru bagi negara mereka.

Selain Amerika, Israel juga telah memperkuat sistem keamanan sibernya dengan membentuk pasukan khsusus bernama Unit 8200. Unit khusus 8200 ini menangani peran khsusus, yakni perang siber (cyber warfare). Dalam catatan operasi pasukan khsusus 8200 ini, Israel berhasil menghentikan operasi radar senjata anti pesawat udara Suriah. 

Selain Israel, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) juga telah memiliki pasukan penanganan keamana siber sendiri. NATO meluncurkan pasukan keamanan sibernya dengan istilah NATO Cooperative Cyber Defense Centre of Excellence (NATO CCD COE). Pusat keamanan siber yang berlokasi di Talinn Estonia ini bertugas untuk meningkatkan sistem pertahanan keamanan NATO.

Jika melihat perkembangan kemajuan negara-negara dunia, hemat saya Indonesia juga perlu sesegera mempersiapkan diri untuk membangun pasukan keamanan siber sendiri. Kementerian Pertahanan saat ini memang tengah menyikapi perang di dunia maya dengan aktif melakukan seminar dan lokakarya. 

Akan tetapi, gagasan terkait pembentukan matra angkatan keempat, yakni Angkatan Siber, perlu dipersiapkan dari sekarang. Memang perlu ada kajian ilmiah yang mendalam, dan tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang menghalangi. Kajian ilmiah kadang-kadang dilihat sebagai tembok penahan keberlanjutan dari gagasan yang sudah ada. Jika memang perlu adanya kajian yang mendalam, seharusnya dimulai dari sekarang.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun