Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Cawapres Anies Bukan dari Demokrat dan PKS

5 Agustus 2023   15:51 Diperbarui: 5 Agustus 2023   15:54 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasdem isyaratkan cawapres Anies dari Nahdatul Ulama (NU). Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/.

Nasdem mengusulkan cawapres pendamping Anies datang dari tokoh Nahdaul Ulama (NU). Isyarat Nasdem tentunya memberi alarm pada dua partai koalisi lainnya (Demokrat dan PKS) agar tidak perlu menyodorkan calon alternatif.

Calon wakil presiden (cawapres) merupakan salah satu unsur penentu kemenangan dalam kontestasi Pilpres 2024 mendatang. Kehadiran sosok cawapres sejatinya dilihat sebagai penyeimbang ruang-ruang kosong yang tidak bisa dijangkau oleh sosok calon presiden (capres). Untuk itu, setiap capres perlu hati-hati dalam memilih cawapresnya. Jika salah memilih cawapres, tiket menuju istana sudah pasti akan cenderung sulit untuk didapat. Tegangan inilah yang tengah dialami oleh beberapa tim koalisi pemenangan capres-cawapres pada Pilpres 2024 mendatang.

Sejauh ini, belum ada tim koalisi yang berani mendeklarasikan sosok cawapresnya. Partai Nasdem dan kubu koalisinya pun belum menentukan secara pasti siapa yang bakal mendampingi Anies Baswedan pada kontestasi Pilpres 2024 mendatang. Bayang-bayang terkait siapa bakal cawapres yang akan diusung tentunya masih menunggu evaluasi yang panjang dari masing-masing partai dalam koalisi. Menurut Ketua DPP Partai Nasdem Effendy Choirie, Anies Baswedan harus didampingi oleh non-parpol. Untuk itu, Effendy Choirie mengusulkan agar Anies bisa menyambangi Nahdatul Ulama. Menurut Effendy Choirie, alasan memilih tokoh dari Nahdatul Ulama ditengarai oleh adanya temuan bahwa di Jawa Timur dan Jawa Tengah pendukung Anies masih sangat kecil. Basis-basis NU ini dirasa belum sepenuh memberikan perhatian kepada sosok Anies. Haruskan Anies membujuk tokoh NU sebagai cawapres?

Sosok cawapres pada dasarnya harus mampu mendongkrak elektabilitas capres yang diusung. Dalam hal ini, sosok Anies sebagai capres sudah lebih dahulu dikenal masyarakat karena rekam jejak dan track record yang dibuatnya selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Anies saat ini tinggal menuggu kekuatan ekstra dalam meng-up-grade popularitasnya. Jika Anies mampu memboyong cawapres dari Nahdatul Ulama, itu artinya Anies mampu merebut salah satu isu politik yang digulirkan pada Pilpres 2024 nanti. Nasionalisme dan Agama, dalam hal ini, bisa menjadi isu politik identitas yang akan terus dinarasikan di Indonesia.

Dalam pesan politik Nasdem, Anies Baswedan diingatkan untuk tidak memilih cawapres dari partai politik (parpol). Artinya, secara tidak langsung, Nasdem meminta Anies untuk tidak menunggu ultimatum dari dua partai koalisi yang mengapitinya, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam bingkai Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Nasdem mengisyaratkan Anies agar menggaet pasangannya hanya dari kalangan non-partai. Nama-nama ketua umum partai, seperti Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat) dan Ahmad Syaikhu (PKS) dengan sendirinya "dihapus" dari kolom daftar cawapres. Jika memang demikian, apakah Partai Demokrat atau PKS merasa keberatan dengan keputusan Nasdem?

Langkah Demokrat tidak mudah berbelok. Demokrat justru memberi sinyal positif terkait usulan cawapres non-partai. Jika dari kalangan non-partai, artinya Demokrat dan PKS tidak boleh tersinggung -- meski kedua partai ini telah sehati-sejiwa mendeklarasikan koalisi yang dibangun. Artinya, Demokrat dan PKS harus "legowo" dalam mengikuti naluri politik Nasdem. Pilihan cawapres non-partai yang diisyaratkan Nasdem pada akhirnya menempatkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) jauh dari bursa calon wakil presiden pendampin Anies. Demokrat memang sempat mengusul AHY sebagai bakal cawapres yang mampu mendampingi Anies di Pilpres 2024 mendatang. Akan tetapi, Nasdem dan PKS justru tidak memberikan respon apa-apa terkait usulan tersebut. Elektabilitas AHY, dalam hal ini, seolah-seolah tidak mampu menutup kelemahan Anies -- me-down-grade Anies.

Pilhan cawapres Anies Baswedan dari kalangan NU bukanlah tanpa pertimbangan. Nasdem memberi sinyal bahwa mereka bakal menggaet tokoh dari NU dalam menutup kelemahan Anies sebagai capres. Jika ditelisik, manuver Nasdem justru datang dari berbagai hasil survei yang sudah dilakukan sebelumnya. Dalam berbagai hasil survei, gelombang dukungan kepada sosok Anies di Jawa Timur (Jatim) dan Jawa Tengah (Jateng) justru menurun. Kenyataan ini dilihat Nasdem sebagai sebuah tantangan besar bagi Anies sebagai capres. Untuk itu, Nasdem perlu masuk dari pintu yang berbeda, yakni agama. Nasdem perlu merangkul tokoh-tokoh NU agar mampu mengisi kekosongan yang kerapkali menjadi ruang kekhawatiran Anies. Kekhawatiran inilah yang mendorong Nasdem untuk memboyong tokoh NU sebagai cawapres yang cocok dalam mendampingi Anies Baswedan.

Apakah pilihan Nasdem untuk menempatkan NU sebagai cawapres sudah tepat? Jika Anies memang bermain di wilayah oposisi pemerintahan saat ini, kubu Anies tak seharusnya mengambil pendamping dari kekuatan agama. Secara otomatis, isu agama sejatinya sudah mampu dikelola dan merapat ke Anies. Nasdem dan tim koalisinya seharusnya melihat peta-peta peluang lainnya yang harus dikejar, yakni keterlibatan Generasi Millenial di dunia perpolitikan saat ini. Kubu Anies harus lebih sering mendengar suara-suara pembaruan yang digaungkan oleh Generasi Millenial saat ini. Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KKP) yang mem-back-up Anies perlu melihat peluang keikutsertaan Generasi Millenial dalam pemilu. Kejelian Nasdem, Demokrat, dan PKS dalam merangkul kaum millanial justru menjadi poin tambahan dalam mendongkrak elektabilitas Anies.

Populasi pemilih yang didominasi kaum millenial saat ini seharusnya menjadi celah tersendiri bagi kubu Anies dalam menarik simpati pemilih. Pertanyaan mendasar yang seharusnya perlu dikritisi adalah kenapa semua tim koalisi justru hanya berkutat pada isu agama dan nasionalisme? Dua isu abadi ini hanya mampu dimainkan oleh para pemilih rentang usia 50-70 tahun. Persentasi ini tentunya berbanding jauh dengan populasi kaum millenial saat ini. Di ruang berpikir kaum millenial saat ini, isu pendidikan dan lapangan kerja menjadi sangat penting. Hemat saya, Nasdem, Demokrat, dan PKS perlu melihat peluang isu Generasi Millenial secara lebih dekat. Mengambil langkah yang berbeda justru menjadi letak semboyan perubahan dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan.

  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun