Kenapa baru sekarang dirasa penting bahwa Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 perlu dilakukan judicial review? Apa sebetulnya urgensi di balik semuanya itu? Kenapa harus 35 tahun? Lalu, siapa yang merasa dirugikan dengan adanya batasan minimal usia 40 tahun bagi capres-cawapres?
Menjelang ajang Pesta Demokrasi 2024, banyak proyek besar yang masuk dalam daftar buku tamu Mahkmah Konstitusi. Tamu-tamu yang datang sebagian besar meminta "keadilan" di meja Hakim Yang Mulia. Ada yang membawa proyek besar terkait Sistem Pemilu (Proporsional Tertutup-Terbuka), ada yang membawa proyek terkait batas minimal jabatan Ketua Umum Partai, dan yang sekarang tengah hangat dibicarakan adalah soal batas minimum usia capres dan cawapres. Menariknya, semua tamu yang meminta keadilan di Mahkamah Konstitusi mempunyai visi yang satu dan sama, yakni menuju Pemilu 2024 yang bebas hambatan.
Pada tahun 2008, Undang-Undang Pemilu pernah meneken sebuah peraturan terkait batas minimum usia capres dan cawapres yang diusung. Dalam Undang-Undang Pemilu Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Nomor 23 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 misalnya, disebutkan bahwa batas minimal usia capres dan cawapres adalah 35 tahun. Peraturan ini kala itu dibuat sebagai upaya untuk mengakomodasi pemimpin-pemimpin potensial yang hendak maju menjadi capres dan cawapres, tetapi dicegal batasan usia. Publik berharap, dengan adanya UU No.23/2003 dan UU No.42/2008, para pemimpin muda bisa ikut berkontribusi dalam menciptakan perubahan bagi bangsa dan negara dengan bergabung menjadi capres-cawapres.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, UU No.23/2003 kemudian diubah. Dalam peraturan yang baru UU No.7/2017 usia minimal capres dan cawapres bergeser dari 35 tahun menjadi 40 tahun. Batasan usia ini dianggap cukup bagi seorang capres dan cawapres untuk menahkodai sebuah negara. Alasan ini dirasa cukup, meski ada beberapa negara tertentu yang masih mempertahankan batas usia berkisar 30 atau 35 sebagai syarat menjadi pemimpin. Bagi para pembuat UU usia 35 dirasa masih labil dari segi kepemimpinan -- bandingkan Kim Jon-un. Dari sejumlah amandemen ini, hemat saya, penting untuk dilihat bahwa kekuatan produk UU kita saat ini masih sangat labil. Alasan-alasan potensial terkait perubahan pun tidak terlalu mendalam untuk diperdebatkan saat ini. Â
Beberapa hari belakangan ini, produk UU No.7/2017 terkait batas usia capres-cawapres kembali digiring ke Mahkamah Konstitusi. UU ini dirasa oleh sebagian pihak justru memasung kebebasan rakyat untuk maju sebagai seorang capres-cawapres. Ada tiga pihak yang berani mengajukan gugatan atas produk UU No.7/2017 ini, antara lain Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dedek Prayudi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Garuda Yohanna Murtika, dan Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana.
Jika ditelisik lebih jauh, tiga pihak yang maju ke meja banding MK merupakan representasi dari orang-orang muda. Orang-orang muda yang menamai diri "Partai Millenial" ini, singkat cerita memang belum memiliki panggung yang tetap di percaturan politik Indonesia. PSI dan Partai Garuda sejatinya merupakan dua partai yang hingga saat ini belum memenuhi syarat presidential threshold. Untuk itu, dua partai ini harus sering muncul di panggung perpolitikan agar mudah dikenal publik. Hal ini tidak berarti elektabilitas PSI dan Garuda tengah menurun untuk saat ini. Akan tetapi, melalui semangat muda dan kekritisannya, PSI dan Partai Garuda diharapkan mampu merebut simpati rakyat khususnya Generasi Millenial pada Pemilu 2024 nanti. Sebagai sebuah partai yang katanya menjadi representasi Generasi Millenial, PSI dan Garuda harus mampu meyakinkan para pemilih muda di hari-hari menjelang Pemilu. Lalu, apa poin di balik semangat PSI dan Garuda menggotong gugatan ke MK?
Ketika isu batas minimal usia capres-cawapres ini berhasil dibawa ke Mahkamah Konstitusi, satu poin tentunya sudah masuk dalam kantong simpati Generasi Millenial. Dalam benak Generasi Millenial, PSI dan Partai Garuda sebagai "senjata millenial" memang benar-benar berpihak kepada generasinya. Keterwakilan Dedek Prayudi sebagai salah satu penggunggat, dilihat oleh sebagian Generasi Millenial sebagai bentuk dukungan PSI bagi para pemimpin-pemimpin muda. Hemat saya, inilah grand design yang tengah dibangun PSI (dan mungkin juga Partai Garuda) dalam merebut suara millenial di Pemilu 2024 nanti. Isu-isu yang mengatasnamakan millenial sengaja dibangun dan dipublikasi saat ini agar mata Generasi Millenial lebih dekat dalam melihat PSI dan Garuda menjelang Pemilu 2024. Inilah jawaban poin urgensitas PSI dan Partai Garuda "memperkarakan" UU No.7/2017 ke Mahkamah Konstitusi.
Lalu, pertanyaan berikutnya, kenapa batasan minimal usia harus 35 tahun? Hemat saya, di sinilah, hermeneutika kecurigaan (hermeneutic of suspicion) mulai muncul. Banyak media memperlebar rasa kecurigaannya hingga ke sosok Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka. Dalam rentetan isu yang beredar, upaya judicial review atas UU No.7/2017 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden erat kaitannya dengan pencalonan Gibran sebagai cawapres. Isu ini terus bergulir mengingat Gibran akhir-akhir ini menjadi sorotan utama peta bursa cawapres 2024.
Putra sulung Presiden Joko Widodo itu memang saat ini tengah berumur 35 tahun (1 Oktober 1987). Secara yuridis terkait batas minimal usia, Gibran jelas tidak memenuhi syarat. Sebaliknya, jika permohonan uji materi terkait batas minimal usia 35 tahun dikabulkan, maka Gibran sudah pasti lolos dalam bursa capres-cawapres 2024. Lalu benarkah upaya judicial review batas minimal capres-cawapres bertujuan hanya sebatas meloloskan Gibran? Apakah Gibran merasa dirugikan dengan adanya batas minimal 40 tahun yang sudah diformulasikan dalam UU No.7 Tahun 2017? Apakah keinginan Gibran harus dipenuhi dengan sesegera menghapus ketentuan atau mengamandemen UU?
Kecurigaan memang mendominasi isi hati dan pikiran publik saat ini. Ada yang menduga politik dinasti Joko Widodo bakal langgeng turun-temurun hingga ke anak cucunya. Jika upaya-upaya konstitusional yang ditempuh semata-mata hanya untuk meloloskan proyek besar politik dinasti, hemat saya Mahkamah Konstitusi harus lebih berhati-hati dalam memutuskan. Mahkamah Konstitusi tidak boleh menjadi institusi lunak yang mudah patuh pada kekuasaan. Jika memang pembuat UU dalam hal ini DPR menyetujui batas minimal dikembalikan ke usia 35 tahun, itu artinya DPR berkewajiban untuk merevisi UU yang ada -- bukan melemparkannya ke MK.