Dunia peradilan sebetulnya memberi banyak pemahaman bagi setiap tata kelola aturan bernegara. Dunia peradilan membuka cakrawala setiap individu untuk memahami bagaimana mekanisme hidup bernegara secara bertanggung jawab. Salah satu jenis peradilan yang masuk dalam skema Undang-Undang adalah Peradilan Agama.
Pengertian dari Peradilan Agama secara jelas terdapat pada Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006. "Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini."
Lingkup dari kewenangan Pengadilan Agama yang terdapat pada Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 diantaranya adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan wakaf serta shadaqah.
Pada kewenangan dalam bidang perkawinan, Pengadilan Agama mengatur hal-hal yang tercantum dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku. Sementara itu, untuk kewenangan dalam bidang kewarisan Pengadilan Agama berkutat pada penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Hierarki Peradilan Agama, sejatinya diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 Pasal 3, dimana di sana dikatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, dan Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Berdasarkan Pasal 4 UU No. 3 Tahun 2006, kedudukan Pengadilan Agama berada di ibukota Kabupaten atau Kota dan daerah dimana hukumnya meliputi wilayah Kabupaten atau Kota. Sementara itu, Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota Provinsi dan Daerah dimana hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung, terlihat dari pengaturan yang terdapat pada huruf a Pasal 5 UU No. 3 Tahun 2006. Pada huruf b Pasal 5 UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Lalu bagaimana proses berperkara di Pengadilan Agama? Berjalannya acara di lingkungan Peradilan Agama yang secara khusus diatur oleh UU No. 3 Tahun 2006, yakni proses acara dalam bidang perceraian yang biasa disebut dengan cerai atau talak.
Hal tersebut terlihat pada Pasal 65 UU No. 3 Tahun 2006 yang menjelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Ada tiga acara yang diatur oleh UU No. 3 Tahun 2006, yaitu cerai talak yang dilakukan oleh suami (Pasal 66, 67, 68 UU No. 3 Tahun 2006), cerai gugat yang dilakukan oleh istri (Pasal 73, 74, 75, 76, 77, 78 UU No. 3 Tahun 2006), dan cerai dengan alasan zina (Pasal 87 dan 88 UU No. 3 Tahun 2006).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H