Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perkawinan Kristiani dan Konsensus

30 November 2021   22:53 Diperbarui: 30 November 2021   23:17 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Maleakhi 2:10-16 ditegaskan bahwa Allah tidak berkenan atas praktik kawin campur. Perkawinan campur dianggap merusak "perjanjian" yang dikukuhkan antara Allah dan Israel di Gunung Sinai. Alasan larangan ini tentunya demi "keselamatan."

Selain melarang perkawinan campur, perceraian juga dilarang karena dianggap merusak "perjanjian" antara Yahwe dan Israel. Perkawinan dengan orang kafir dianggap merusak "perjanjian" antara Yahwe dan Israel. Oleh karena itu, perkawinan berciri tak terceraikan. Hal ini akan dipertegas dalam Perjanjian Baru. "Apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia" (Matius 19:6).

Akhirnya, Nabi Maleakhi juga menekankan ciri prokreatif dari perkawinan dengan tidak menunjukkan keterpecahan di antara keduannya (suami dan isteri).

Allah membangun relasi dengan bangsa pilihan-Nya Israel atas dasar sebuah perjanjian. Dalam Perjanjian Lama, yang diselamatkan hanya bangsa pilihan Yahwe, yakni Israel, sedangkan dalam Perjanjian Baru, keselamatan ditawarkan bagi seluruh bangsa (Universalitas Keselamatan).

Dalam Perjanjian Lama, keselamatan terletak pada keturunan, sedangkan dalam Perjanjian Baru, keselamatan justru pada kepercayaan -- melakukan kehendak Bapa atau tidak, bukan dalam keturunan suku bangsa seperti Israel dalam Perjanjian Lama.

Dalam tradisi Perjanjian Lama, orang Yahudi dilarang untuk menikah dengan bagsa lain yang mereka anggap sebagai bangsa kafir dan tidak mendapat rahmat keselamatan dari Allah.

Dalam Gereja, pernikahan antara fideles dan infideles dilarang karena bukan sakramen. Hal ini dimungkinkan jika diberikan dispensasi, yakni disparitas cultus. Diakatakan bukan sakramen karena pihak infideles tidak memberikan sakramen kepada pasangannya.

Dalam hal ini, seorang imam hanya menjadi peneguh perkawinan, sedangkan yang bertugas memberi dan menerima adalah kedua mempelai. "Nemo dat quod non habet" (Anda tidak memberikan apa yang tidak ada pada diri Anda).

Maka penting bahwa, antara pria dan wanita harus sama-sama beriman agar kehadiran Allah membantu pembentukan dan kelanggengan keluarga di kemudian hari.

Ciri kesetiaan justru datang dari keberimanan pasangan. Aspek religius dalam perkawinan menunjuk pada suatu harapan, yakni keselamatan.

Perceraian pada dasarnya menghina Allah, karena Allah telah menjadi saksi dari janji perkawinan antara suami dan istri (Matius 19:6).

Hosea 1--3

Perkawinan suami-isteri Israel adalah lambang hubungan cinta antara Allah dan Israel. Hosea disuruh Allah untuk mengawini perempuan sundal (Hosea 1:2). Hal ini menunjukkan bahwa Allah telah mengawini Israel, walaupun Israel sama-sekali tidak pantas menerima perlakuan istimewa tersebut.

Istri Hosea menggambarkan karakter Israel yang tidak setia kepada Yahwe. Israel meninggalkan Yahwe dan menyembah dewa-dewi bangsa kafir. Akan tetapi, Allah tetap setia membujuk Israel untuk kembali ke pangkuan-Nya.

Proyeksi dari harapan Allah diberikan kepada Hosea. Hosea disuruh Allah untuk menerima kembali istrinya yang telah berbuat sundal. Hal ini mennunjukkan bahwa Allah selalu menerima kembali Israel sebagai isteri-Nya.

Kesimpulannya: "Perkawinan selalu berciri setia sepenuh-penuhnya. Ketidaksetiaan dari satu pasangan tidak menjadi alasan bagi pasangan yang lain untuk berbuat hal yang sama (tidak setia).

Dalam ilustrasi Kitab Hosea, gambaran kesetiaan Allah sungguh luar biasa. Perjanjian antara Allah dan Israel selalu mengikat, sehingga walaupun Israel tidak setia, Allah tidak mengingkari janji-Nya untuk setia kepada Israel, istrinya. Maka dengan sendirinya, perceraian tidak diizinkan.

Dalam Matius 19:9, cerai diizinkan khusus untuk jemaat Matius. "Kemungkinan editor Matius yang menambahkan pernyataan tersebut dengan alasan tertentu dan bukan ipsisima verba (kata-kata Yesus sendiri)."  

Perkawinan selalu berciri setia. Konsekuensinya: 1) suami-isteri selalu setia satu sama lain dan 2) jika salah satu berzinah, ia wajib diterima kembali sebagaimana Allah menerima Israel yang selalu mengingkari kesetiaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun