Undang-Undang kadang membuat polemik semakin melebar. Urusan rumah tangga bahkan diresmikan oleh hukum untuk dipermasalahkan. Problem istri dipidana karena memarahi suami karena mabuk-mabukan adalah fakta bahwa hukum bermain dengan kekuatan argumen dan logika kalkulasi matematis.
Ada beberapa hal krusial terkait opsi di depan hukum. Beberapa diantaranya soal argumen siapa yang lebih kuat? Soal siapa yang lebih menguasai pasal-pasal?Â
Soal tafsiran siapa yang lebih dominan? Bukan cuman itu. Siapa yang paling tak berdaya dan bisa dihabisi melalui celah hukum? Inilah fakta-fakta menarik ketika kita berhadapan dengan hukum.
Valencya atau Nengsy Lim (40) adalah salah satu korban jeratan pasal. Valencya dijerat Pasal 45 ayat 1 Juncto Pasal 5 Huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri Karawang, Jawa Barat, menyampaikan bahwa Valencya diduga melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) psikis. Ia kemudian dituntut satu tahun penjara.
Putusan jaksa dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Karawang, Jawa Barat, Kamis (11/11/2021) itu, tentunya membuat terdakwa merasa keberatan.Â
Valencya pun menyampaikan pledoinya terkait putusan ini. "Saya keberatan yang mulia. Apa yang dibacakan tidak sesuai fakta. Masa hanya karena saya mengomeli suami yang suka mabuk-mabukan, saya jadi tersangka dan dituntut satu tahun penjara," kata Valencya.
Ketika suami mabuk-mabukan, istri seharusnya berhak memarahi dan memberi teguran. Ini sebetulnya soal tanggung jawab dalam hidup berumah tangga.Â
Masing-masing pribadi, baik istri maupun suami, mempunyai tanggung jawab dalam mengelola rumah tangga. Hal ini, bahkan sudah diikat dalam konsensus perkawinan.
Dalam kasus, Valencya, suami merasa mengalami kekerasan psikis. Hemat saya, kekerasan psikis yang diklaim oleh sang suami adalah konsekuensi langsung dari kebiasaan mabuk-mabukan. Jika tak mabuk-mabukan, istri tak mungkin menegur dengan nada yang lebih tinggi dan semburan komunikasi verbal yang menyinggung.
Saya mengamini bahwa prinsip "equality before the law" diterapkan di negara hukum seperti Indonesia. Akan tetapi, setiap kasus tentunya memiliki porsinya masing-masing untuk didalami. Karena perbedaan tiap kasus ini, keadilan pun dicari dengan watak yang berbeda pula.
Dalam tiap putusan, para pencari dan penentu keadilan tidak bertindak hanya atas nama keadilan hukum semata. Jika jaksa atau seorang hakim hanya bertindak atas bunyi penggalan pasal-pasal, mengapa kasus-kasus berserta pasal-pasal demikian tidak diinstal saja ke dalam komputer biar alogaritma mesin komputer yang menghitung nilai keadilan yang dicari.
Dalam hal ini, hukum tidak lahir semata-mata sebagai mesin pencari keadilan. Hukum itu bukan sebatas mesin kalkulasi agar keadilan ditemukan, tanpa memperhatikan nilai-nilai keadilan yang lebih luhur.Â
Hukum itu justru dilihat sebagai pembanding, kerangka acuan, dan jembatan dalam menemukan keadilan. Dalam hal ini, keadilan tidak sama dengan hukum. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H