Kata "terserah" dalam dirinya tidak bermakna apa-apa ketika tidak didahului sebuah pertanyaan. Jika jawaban "terserah" muncul dalam isi layar handphone Anda, maka makna dalam hal ini bisa semakin kaya, sekaligus miskin.
Pilihan kata itu harus pasti. Jangan memberi ruang untuk banyak interpretasi. Semakin rancu pilihan kata, agaknya ruang kosong di kepala cukup sensistif 'tuk memberi komentar. Itulah setidaknya yang dialami, jika diksi itu terlalu gegabah diutarakan.
Dalam ilmu hermeneutika, diksi sebagai bahan baku komunikasi adalah unsur penting yang perlu digarisbawahi. Hermeneutika, dengan kata lain adalah pengolahan diksi. Ketika pilihan kata (diksi) diutarakan atas dasar rasa emosional yang tak terbendungi, biasanya ruang heremeneutikanya cenderung melebar. Kaidah-kaidah komunikasi yang santun (polite) dan unsur privat pun rubuh tak tertolong.
Saya teringat akan cerita kuno bagaimana ilmu heremeneutika itu berkembang. Konon, di Yunani dewa-dewa di Olympus selalu menjadi kebertujuan intensi manusia. Konsep relasional manusia zaman itu terarah kepada sebuah keyakinan bahwa dewa-dewa mempunyai peran yang intens dalam kehidupan manusia.
Suatu ketika, para dewa di Olympus ini hendak menyampaikan wejangan kepada manusia. Wejangan ini disampaikan melalui perantara bernama Hermes, Dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani. Hermes diberi tanggung jawab untuk menyampaikan pesan para dewa agar mudah dimengerti. Keberhasilan Hermes dalam menafsir, memberi pemahaman, dan menerjemahkan pesan adalah titik tolak manusia mulai memahami sesuatu.
Dari dewa Hermes, istilah hermeneutika mulai diestafetkan hingga ke zaman kita sekarang. Kemampuan Hermes dalam menafsir dan menerjemah pesan dewa-dewa Olympus demi tujuan kejelasan pemahaman, dipakai oleh dunia akademis dalam membaca teks.
Dalam membaca teks, khususnya pesan teks yang dititip pembuat teks (pengarang), proses hermeneutika harus jauh dari intervensi apapun. Seorang pembaca ketika membaca teks akan berusaha memahami pesan teks melalui kekuatan penafsiran. Dan, dalam hal ini, penafsiran akan lebih kaya ketika penafsir menganggap si pengarang telah mati.
Kekuatan teks sebetulnya ada pada diksi yang digunakan. Ketika semua pesan teks lebih banyak ditulis sepotong-sepotong (ter-fragmentasi), pola penafsiran pun akan cenderung tak sistematis. Apalagi, dalam teks chatt di whatsapp misalkan, kebanyakan diksi yang digunakan lahir dengan karakter asal cepat dibaca, logika pendek, dan cenderung agresif.
Untuk itu, dalam membaca teks-teks demikian, kelas hermeneutika sebaiknya perlu di-upgrade agar ruang misinterpretation bisa diminimalisir. Semakin pendek pesan teks, biasanya semakin luas dan dalam maknanya. Hermeneutika akan bermain dengan jumlah diksi yang digunakan.
Misalkan, isi teks hadir dengan kata "terserah." Kata "terserah" dalam dirinya tidak bermakna apa-apa ketika tidak diberi penjelasan apa-apa. Jika jawaban "terserah" muncul dalam isi layar handphone Anda, maka makna dalam hal ini bisa semakin kaya, sekaligus miskin.