Di sekujur daerah Pasar Baru, Padang Bulan, Medan, barisan kafe tertata apik. Kelihatan sepi, tapi coba tengok samping kiri-kanan jalan, barisan sepeda motor justru mengubah jepretan sela-sela mata. Jika berhenti sejenak, menyeruput, lalu duduk sebentar, suasana cepat dijajal riuh.
Banyak mahasiswa mampir, berselancar, ngerjain tugas, sekadar ngobrol, juga cekikikan tawa beberapa pasangan muda-mudi mengubah latar kafe. Asap mengepul. Earphone menggenggam kedua daun telinga. Asbak terisi puntung dan abu rokok. Meja dijajal laptop. Sibuk.
Selang beberapa menit, Nasi Goreng Andaliman dipadu teh manis hangat menyeka tatapan yang sudah dari tadi melotot ke layar laptop. Ada diskusi online, belajar daring, webinar, dentuman keras di grup chatt, pokoknya ramailah. Di dunia maya, lalulintas kegiatan apa saja stay on saat pandemi masih berstatus siaga.
Sore Pukul 16.41 WIB, kafe mulai penuh dikerubung massa menenteng nametag mahasiswa. Mereka datang dari berbagai latar belakang. Ada yang bersatus single, ada juga yang sudah terpaksa gandeng-gandeng. Inilah panorama ruang sosial yang sesungguhnya. Ada aku, mereka, dan yang siap datang.
Luis Manik yang duduk di sebelah saya tak pernah melepaskan earphone. Dari tadi, ia mengutak-atik laptop sambil membenarkan kontur studio musik online di depan layar. Rasanya, tak terlalu lama. Waktu seperti terus dikejar senja. Batangan rokok yang ditarik dari bungkusannya hampir menyentuh ringan. Suasana kafe tetap bersahabat, meski riuh di setiap sudut kafe sudah tak lagi mampu dibendungi.
Panorama kafe di sekujur daerah Pasar Baru, Padang Bulan, Medan, memang akrab disentuh jejak kaki mahasiswa. Ada mahasiswa dari Unika St. Thomas Medan, dari Universitas Politeknik Negeri Medan, juga dari Universitas Sumatera Utara (USU). Kafe-kafe di sekitarnya, termasuk di gang Pasar Baru, tak luput dari serbuan mahasiswa.
Hadirnya kafe-kafe ini sebetulnya mau memberi ruang sosial terbuka bagi para mahasiswa dalam berelasi. Jejak-jejak dalam biduk berkelompok, duduk, saling melempar ide, dan bertukar gagasan serasa hangat ditemani beragam daftar menu. Suasana pendidikan di masa pandemi bawaannya seperti kembali bergeliat, meski tak seformal di kampus.
Tentang catatan hari ini, saya jadi teringat sama barisan kafe di sekujur Jalan Kaliurang Jogja. Kafe-kafe ini juga seringkali dijajak mahasiswa yang datang 'tuk ngerjain tugas. Berbekal Rp10.000, segelas kopi dan wifi gratis diseruput habis. Ya, namanya juga mahasiswa. Geliat nongkrong itu hal biasa -- apalagi di tempat yang gratis wifi. Iya gak?
Dunia pendidikan memang seringkali memberi tawaran peluang baru bagi lingkungan sekitar. Jika bukan soal menu makan, setidaknya fasilitas terbuka untuk bisa berinteraksi. Meski dunia maya sudah memberi banyak keluasan panorama yang bisa dijelajahi, selalu saja ada kebutuhan untuk duduk, mendengar, bertukar ide, kikikan, lalu pulang membawa cerita. Jangan lupa, tugas-tugas dan persiapan ujian tengah semester (UTS) diselesaikan. Itu tanggung jawab yang paling pertama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H