Saya dikatakan benar-benar bebas jika saya mampu mempertanggungjawabkan kebebasan saya. Inilah yang dimaksudkan dengan kebebasan eksistensial -- saya sebagai subjek kebebasan bertindak secara sadar (akal budi dan kehendak) dalam menentukan tindakan.
Ketika kebebasan mendahului tanggung jawab, maka pilihan tindakan kita kadang-kadang akan berada di luar kendali tanggung jawab moral. Sebagai contoh, ketika ada seseorang yang berbeda keyakinan mengalami kecelakaan, saya akan berhadapan dengan dua pilihan bebas: membantu atau membiarkannya.
Jika saya menempatkan kebebasan sebagai sesuatu yang didahulukan daripada tanggung jawab, maka mungkin saya akan membiarkannya karena saya punya sentimen soal beda keyakinan atau alasan lain, katakanlah takut telat menghadiri acara tertentu. Akan tetapi, jika saya mendahulukan kebebasan, di sana tanggung jawab moral saya berjalan.
"Semakin bertanggung jawab, maka semakin bebas." Orang yang bertanggung jawab, hemat saya, di satu sisi bisa semakin bebas, bisa juga tidak bebas. Maka, poinnya kembali ke ruang lingkup kebebasan yang saya pahami.
Biasanya, orang yang bertanggung jawab sudah pasti tahu mempergunakan kebebasannya. Secara sadar, ia akan menentukan pilihan tindakannya yang membuat ia merasa bebas untuk melakukannya.
Misalnya ketika saya bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas tepat waktu demi kesuksesan saya di masa depan dan saya menganggap hal ini baik, maka kebebasan dalam hal ini berarti baik.
Akan tetapi, ketika saya mengerjakan tugas hanya karena alasan formalitas, atau asal-asalan, maka ruang lingkup kebebasan dalam hal ini tidak bernilai. Kebebasan sejatinya harus mampu dipertanggungjawabkan. Kebebasan dalam hal ini berarti bebas untuk, bukan bebas dari.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H