Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi dan Budaya Memberi

12 Oktober 2021   14:10 Diperbarui: 12 Oktober 2021   14:13 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi bukan lagi kejahatan extraordinary saat ini. Hari-hari ini, kita cenderung ditodong berita seputar kata korupsi. Belum selesai kasus si A, tersangka si B, dan terdakwa si C, tiba-tiba antri menghiasi halaman pemberitaan. Tak ada yang takut. Semakin garang taring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menggigit, semakin banyak celah justru dilirik.

Sejak tahun 2011, kalau tidak salah, mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi (PAK) dimasukkan ke dalam kurikulum setiap Perguruan Tinggi (PT). Tujuannya, tidak jauh berbeda dari semangat lembaga KPK, yakni tuntas habis basmi korupsi. 

Semangat PAK digaungkan agar para mahasiswa dilatih, dididik, dan dibiasakan untuk bertindak jujur. Memang, korupsi sebetulnya lahir dari budaya anti-kejujuran.

Harapan formasi mata kuliah PAK, sejatinya bukan sekadar memenuhi tuntutan formalitas kurikulum PT. Takarannya, justru agar para mahasiswa dilatih jujur selama berada di lingkungan kampus juga di luar lingkungan kampus. 

Artinya, setelah mendapat bekal tentang materi PAK, para calon penerus bangsa bisa belajar bagaimana bertindak, mengelola, dan memanjemen diri ketika diberi tanggung jawab.

Sekali lagi, pesannya jangan sekali-sekali korupsi. Kenapa korupsi dilarang keras? Toh banyak yang ditangkap KPK terkait kasus korupsi dan mereka merasa biasa-biasa saja. Apakah cukup berhenti di mereka? 

Ketika korupsi dijadikan kata yang haram, orang semakin mencari-tahu apa penyebab orang suka melakukan tindakan tersebut. Hemat saya, salah satu penyebabnya, tak lain adalah budaya memberi.

Memberi pada dasarnya baik. Akan tetapi, jika pemberian itu menuntut pamrih, di situlah pemberian itu kehilangan maknanya. Seorang pejabat di lingkungan pemerintahan tertentu, misalnya, jatuh pada semangat korupsi, karena ia sering mendapat pemberian tertentu. 

Ketika menerima pemberian tertentu, ia tidak kritis karena jumlah pemberian yang fantastis menghalangi nuraninya untuk membuat pilihan yang baik. Dalam hal ini, memberi sudah mengedukasi setiap penerima untuk melakukan kegiatan yang sama, yakni balas memberi.

Dalam fase tak disadari ini, tindakan kesalingan ini, memberi makna pada sebuah bentuk relasi. Saya memberi, karena saya mengharapkannya kembali. Logika ini, menyuburkan naluri dan batin para koruptor. 

Tidak ada pemberian yang ikhlas dalam lingkaran jabatan. Bahkan, untuk perayaan-perayaan tertentu, misalkan, seseorang memberi sesuatu dengan iming-iming agar di suatu saat ia akan menerima hal yang sama. Ketika nostalgia tentang logika timbal-balik ini tak hilang, tindakan korupsi pun bertahan kekal.

Korupsi, hemat saya, bukanlah sebuah bentuk disorder (gangguan). Korupsi justru dilihat sebagai sebuah total penjumlahan dari budaya memberi yang bertahan karena rekaman relasi timbal-balik disertai pamrih.

Si A, sebagai contoh, diangkat untuk menduduki posisi tertentu, karena si A sudah memberi jasa tertentu untuk saya. Tugas saya yang lebih dulu menerima jasa si A adalah melakukan hal yang sama.

Gurita tindakan korupsi persis lahir dari sarang memberi yang disertai pengembalian. Ketika budaya memberi disertai pamrih menguat, di situlah fase embrional korupsi berkembang biak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun