Dalam bukunya “The Origin of Species,” Charles Darwin mengafirmasi bahwa spesies-spesies yang ada tidak dapat dimutasikan dan diciptakan secara sendiri. Diyakini bahwa spesies-spesies yang ada mengalami modifikasi dan bahwa bentuk-bentuk kehidupan yang ada merupakan generasi keturunan yang sesungguhnya muncul dari bentuk yang ada sebelumnya. Evolusi menghadirkan beragam kehidupan yang melingkupi planet bumi, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan yang paling merasa tinggi adalah manusia dengan sivilisasinya.
Berdasarkan penelitian yang adekuat, dalam “The Descent of Man,” Charles Darwin membuktikan bahwa pada dasarnya manusia tidak lain adalah kera hominoid yang mengalami proses evolusi yang sedikit demi sedikit berubah dan dalam jenis yang paling maju mengarah ke wujud manusia dari nenek moyang hominoid yang sama dengan kera (shared ancestor). Manusia berevolusi menuju taraf yang sempurna, yakni manusia dengan level kognitif yang tinggi. Proses menjadi manusia sekarang sebetulnya mengkonstruksi kapasitas-kapastias mental, psikologis, dan pikiran dari prosesnya berkembang secara gradual.
Dari proses evolusi biologi yang panjang, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana manusia melihat aspek moralnya; bagaimana hadirnya asal usal moral manusia? Berhadapan dengan wacana moral, bagaimana berperilaku di tengah sosialitas manusia, lalu menciptakan dan menyuguhkan aturan-aturan dan norma-norma moral berkat kemampuan akal budi dalam sebuah proses peradaban budaya yang panjang?
Manusia mulai menciptakan konsensus bersama dalam komunitas sebagai cara memaknai hidup. Hal ini wujud dalam bentuk perintah yang bersifat negasi dan afirmasi. Di sini, kita justru melihat bahwa moralitas itu merupakan sebuah format aturan yang lahir dari pemikiran dan spekulasi yang diformulasi lewat hukum. Semuanya itu, terbentuk melalui norma yang muncul akibat pola-pola relasi yang terjadi. Di sini, jelas terlihat bahwa manusia melupakan realitas yang paling hakiki dari dirinya, yakni animale ratonale.
Dahulu hingga sekarang, jika melihat pola perkembangan pandangan moral, analisis moralitas manusia sangat kuat didominasi dimensi filsafat yang ditutup rigid dengan kajian spekulasi-rasional dan kajian iman-teologis. Bahkan dua ribu tahun penelusuran filosofis menunjukkan bahwa topik mengenai nilai dan makna diliputi rangkaian pertanyaan kompleks dimana pemahaman atas hal tersebut membutuhkan kemampuan intelektual yang tinggi.
Akan tetapi, pada dasarnya jika melihat proses evolusi dalam term struggle for existence yang Darwin sugguhkan, realitas filosofis adalah perkembangan dari apa yang sudah ada, yakni perilaku-perilaku yang diputuskan karena dorongan-dorongan emosional kelompok dengan segala kecenderungan biologisnya.
Pemikiran filosofis dengan afirmasi positifnya tentang harus berbuat baik adalah kenyataan riil yang dikehendaki umat manusia, bukan berbuat jahat yang dikehendakinya. Dalam frase struggle for the fittest inilah moral berkembang dan mendapat sistemnya saat manusia mulai berpikir lewat abstraksi filosofis. Pada dasarnya perilaku moral atau altruistik hadir dari kapasitas pra-moral atau disebut oleh Darwin sebagai simpati atau sentimen moral yang khas dan unik biologis.
Dari tindakan-tindakan altruis yang diendapkan di dalam anggota kelompok inilah nanti berkembang menjadi altruisme resiprokal atau retributif. Adanya kesalingan untuk berbagi, membantu dan kerja sama adalah usaha untuk membangun relasi komunitas yang solid. Setelah proses ini berlaku dan memperoleh kesejahteraan kelompok dalam maka moralitas diaplikasikan ke luar komunitas lewat suatu refleksi dan penalaran yang dalam. Kualitas atau kemampuan biologis itu paling kurang masih dibawa manusia sebagai sebuah warisan dalam kebertubuhannya sebagai manusia tertuma empati dalam bahasa psikologi yang diterima secara umum dalam ranah saintifik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H