Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Evolusi Moral Manusia

2 Oktober 2021   00:02 Diperbarui: 2 Oktober 2021   00:08 4140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam bukunya “The Origin of Species,” Charles Darwin mengafirmasi bahwa spesies-spesies yang ada tidak dapat dimutasikan dan diciptakan secara sendiri. Diyakini bahwa spesies-spesies yang ada mengalami modifikasi dan bahwa bentuk-bentuk kehidupan yang ada merupakan generasi keturunan yang sesungguhnya muncul dari bentuk yang ada sebelumnya. Evolusi menghadirkan beragam kehidupan yang melingkupi planet bumi, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan yang paling merasa tinggi adalah manusia dengan sivilisasinya.

Berdasarkan penelitian yang adekuat, dalam “The Descent of Man,” Charles Darwin membuktikan bahwa pada dasarnya manusia tidak lain adalah kera hominoid yang mengalami proses evolusi yang sedikit demi sedikit berubah dan dalam jenis yang paling maju mengarah ke wujud manusia dari nenek moyang hominoid yang sama dengan kera (shared ancestor). Manusia berevolusi menuju taraf yang sempurna, yakni manusia dengan level kognitif yang tinggi. Proses menjadi manusia sekarang sebetulnya mengkonstruksi kapasitas-kapastias mental, psikologis, dan pikiran dari prosesnya berkembang secara gradual.

Dari proses evolusi biologi yang panjang, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana manusia melihat aspek moralnya; bagaimana hadirnya asal usal moral manusia? Berhadapan dengan wacana moral, bagaimana berperilaku di tengah sosialitas manusia, lalu menciptakan dan menyuguhkan aturan-aturan dan norma-norma moral berkat kemampuan akal budi dalam sebuah proses peradaban budaya yang panjang?

Manusia mulai menciptakan konsensus bersama dalam komunitas sebagai cara memaknai hidup. Hal ini wujud dalam bentuk perintah yang bersifat negasi dan afirmasi. Di sini, kita justru melihat bahwa moralitas itu merupakan sebuah format aturan yang lahir dari pemikiran dan spekulasi yang diformulasi lewat hukum. Semuanya itu, terbentuk melalui norma yang muncul akibat pola-pola relasi yang terjadi. Di sini, jelas terlihat bahwa manusia melupakan realitas yang paling hakiki dari dirinya, yakni animale ratonale.

Dahulu hingga sekarang, jika melihat pola perkembangan pandangan moral, analisis moralitas manusia sangat kuat didominasi dimensi filsafat yang ditutup rigid dengan kajian spekulasi-rasional dan kajian iman-teologis. Bahkan dua ribu tahun penelusuran filosofis menunjukkan bahwa topik mengenai nilai dan makna diliputi rangkaian pertanyaan kompleks dimana pemahaman atas hal tersebut membutuhkan kemampuan intelektual yang tinggi.

Akan tetapi, pada dasarnya jika melihat proses evolusi dalam term struggle for existence yang Darwin sugguhkan, realitas filosofis adalah perkembangan dari apa yang sudah ada, yakni perilaku-perilaku yang diputuskan karena dorongan-dorongan emosional kelompok dengan segala kecenderungan biologisnya.

Pemikiran filosofis dengan afirmasi positifnya tentang harus berbuat baik adalah kenyataan riil yang dikehendaki umat manusia, bukan berbuat jahat yang dikehendakinya. Dalam frase struggle for the fittest inilah moral berkembang dan mendapat sistemnya saat manusia mulai berpikir lewat abstraksi filosofis. Pada dasarnya perilaku moral atau altruistik hadir dari kapasitas pra-moral atau disebut oleh Darwin sebagai simpati atau sentimen moral yang khas dan unik biologis.

Dari tindakan-tindakan altruis yang diendapkan di dalam anggota kelompok inilah nanti berkembang menjadi altruisme resiprokal atau retributif. Adanya kesalingan untuk berbagi, membantu dan kerja sama adalah usaha untuk membangun relasi komunitas yang solid. Setelah proses ini berlaku dan memperoleh kesejahteraan kelompok dalam maka moralitas diaplikasikan ke luar komunitas lewat suatu refleksi dan penalaran yang dalam. Kualitas atau kemampuan biologis itu paling kurang masih dibawa manusia sebagai sebuah warisan dalam kebertubuhannya sebagai manusia tertuma empati dalam bahasa psikologi yang diterima secara umum dalam ranah saintifik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun