Â
Formasi SDM untuk Kelanggengan Toba
Formasi sumber daya manusia (SDM) bukanlah sebuah persepsi yang negatif. Edukasi masyarakat untuk sebuah proyek eko-wisata adalah bentuk dukungan ekstra bagi kelanggengan usia sebuah lokasi pariwisata. Di Danau Toba, edukasi masyarakat mengenai pentingnya promosi wisata adalah tahapan penting dalam mengejar minat pengunjung. Tingkat kesadaran masyarakat mengenai faktor-faktor penunjang kelanggengan orbit wisata sebaiknya perlu ditanam secara berkala.
Di pinggiran Danau Toba, misalkan diperlukan penataan lokasi yang memukau mata. Ketika hendak menyentuh Pulau Samosir, sambutan "ceria" bisa terlihat melalui rias ruang kedatangan. Kebersihan dengan demikian menjadi salah satu tolok ukur kawasan wisata diminati. Dalam hal ini, sosialisasi mengenai kebiasaan-kebiasaan yang baik, seperti membuang sampah pada tempatnya, harus digalangkan untuk penataan kawasan DSP Danau Toba.
Miniatur Toba memang sudah melang-lang buana ke belahan bumi manapun. Kesan-kesan positif dan banjir apresiasi yang monumental dipajang di berbagai platform media. Akan tetapi, apakah perjumpaan empat mata dengan Danau Toba sejajar dengan logo marketing promosi? Pertanyaan ini sejatinya perlu dijawab oleh mekanisme penataan Toba secara menyeluruh. Dalam hal ini, baik pengunjung mapun warga setempat harus selalu diberi "warning" untuk bahu-membahu mengontrol kebersihan di seluruh kawasan wisata.
Selain edukasi soal pentingnya kebersihan, bentuk dukungan lain yang harus ditata adalah soal promosi budaya dan kerajinan masyarakat setempat. Dalam bingkai budaya Batak Toba-Samosir, tarian penyambutan seperti Tor-Tor bisa menjadi jembatan akses masuk ke dalam masing-masing suasana hati para pengunjung. Tamu lokal maupun mancanegara, dengan demikian merasa diterima dan menyatu dengan lokasi wisata melalui kekuatan "senyuman pertama" budaya setempat.
Keunikan Toba sebetulnya ada di sekujur Samosir. Seperti sebuah kapal pesiar yang tengah berlayar, Samosir enggan berhenti berlayar. Samosir selalu terapung di atas Toba meski bebannya sudah mencapai berpuluh ribu tahun. Di atas dek-dek Samosir, promosi Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE) di Indonesia aja tentu mendapat tempat. Untuk itu, pemerintah perlu bekerja sama dengan warga setempat untuk berani membuat spot-spot perhentian bagi tumpuan wisata visual Danau Toba.
Di pintu masuk Pulau Samosir, Desa Tomok misalkan, dibuat monumen penerimaan dengan gaya bahasa Batak Toba. Di sana bisa dibuat semacam catatan sejarah terbentuknya Danau Toba baik dari sisi legenda (folklore) maupun sains. Penyematan monumen perjumpaan semacam ini sudah membuka mata para pengunjung untuk memperlebar wawasan terkait postur Danau Toba ke seluruh dunia.
Spot lain yang bisa dibangun pada dek Samosir adalah pojok pameran budaya. Menyentuh Samosir sebetulnya sudah menyentuh budaya Batak secara keseluruhan. Konon, dari Pulau Samosir, kemasan populasi "bangsa Batak" lahir dan berkembang. Di pojok pergelaran budaya ini, sisipan kuliner khas Batak, seperti ikan Arsik menjadi teman "ngobrol" para pengunjung. Spot budaya ini bisa dibangun di sekitar wilayah Onan Runggu dan Palipi.
Semua cita-cita ini lahir dan berkembang jika sosialisasi peningkatan SDM diprioritaskan ke dalam masterplan akselerasi perencanaan ITMP Danau Toba. Kelanggengan Danau Toba sebagai salah satu warisan keindahan alam yang mendunia pun bisa dipertahankan sejauh langkah zaman. "Heritage of Toba" bukanlah sebuah kisah letusan supervolcano semata. Ia sebetulnya lebih dari itu, yakni "Heritage of Toba" sebagai monumen sejarah yang melegenda.