seksualitas dalam pemahaman tradisional adalah sesuatu yang tabu. Bahkan dalam kepercayaan tertentu yang berlabel agama seperti halnya di Indonesia, seksualitas dianggap sebagai sesuatu yang terpisahkan: seks itu haram, dosa, duniawi, tidak seharusnya dibicarakan, dll. Larangan penggunaan burkini di Prancis, misalkan, adalah salah satu replika dari wacana seksualitas.
Berbicara mengenai seks atauWanita seharusnya tampil adanya -- bebas dari kekangan budaya, ideologi serta perpanjangan tangan dari atribut-atribut agamis yang bersifat mengikat. Inilah tuntutan tren dan perubahan zaman, yakni semua orang perlu membuka "cadar."Â
Akan tetapi, ketika memahami dua kata ini -- seks dan seksualitas -- orang kadang terantuk pada pemaknaan yang sama, yakni memahami keduanya sebagai sesuatu yang merusak kehidupan moral seseorang. Maka, penting untuk membedakan dua kata ini.
Pada dasarnya seks adalah istilah yang berkaitan dengan organ kelamin dan hal-hal yang langsung menyangkut alat kelamin itu sendiri. Sedangkan seksualitas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kepribadian seseorang, baik sebagai pria maupun wanita (Al. Purwa Hadiwardoyo: 1990).Â
Dari pengertian ini, seksualitas pada dasarnya jauh lebih luas daripada seks.Â
Di sinilah orang selalu mengalami masalah pemahaman lebih lanjut mengenai seksualitas.
Wacana mengenai seksualitas mulai dianggap sebagai sesuatu yang tabu, haram, dan tak seharusnya dilakukan. Akan tetapi, dalam retorika larangan ini, masih banyak orang dari kalangan yang mengampanyekan larangan seksualitas justru ikut menciptakan kekerasan seksual. Persoalan moral mulai dibawa ke permukaan ketika orang tidak lagi menghargai hubungan seksual sebagai ungkapan cinta kasih yang sejati.
Hubungan seksual justru dilihat sebagai sarana pemuas hawa nafsu kedua belah pihak. Jaminan dalam hubungan seksual suami-istri adalah karakter sejati dari sebuah relasi. Maka, hubungan seksual yang dimeteraikan melalui ikatan perkawinan -- jaminan sehidup-semati -- menjadi hubungan yang dianggap sah. Penyatu hubungan kedua pasangan, tidak hanya dilihat dari cinta sejati tetapi juga karena restu Tuhan melalui sakramen perkawinan.
"Ikatan suci demi kesejahteraan suami-istri dan anak maupun masyarakat itu, tidak tergantung dari kemauan manusiawi. Allah sendirilah pencipta perkawinan yang mencakup berbagai nilai dan tujuan" (Gaudium et Spes art. 48). Maka, dari itu, pria dan wanita, yang karena janji perkawinan, "bukan lagi dua, melainkan satu daging" (Matius 19:6).   Â
                         Â
Moral Sosial
Masalah sosial dewasa ini adalah kajian yang tidak hanya berkaitan dengan logika ekonomi-bisnis, ketenagakerjaan, dan relasi sosial, tetapi juga bagaimana motif dan dampak dari permasalahan itu futuris.Â
Kesenjangan sosial yang diproduksi oleh kapital tertentu -- kapital budaya, ekonomi, dan simbolik -- pada akhirnya mengantar orang pada keterasingan dalam berelasi. Pola relasi abad ini, selalu menampilkan tren, prestise, dan kelas-kelas sosial.
Manusia juga hanya ditakar dari kemampuannya dalam menggunakan alat-alat produksi. Lebih dari itu, kapital ekonomi dengan senjata berburunya, yakni uang, mampu menayntuni keinginan dan hasrat pribadi seseorang untuk berkuasa.Â
Hal ini, dengan sendirinya menciptakan gap di antara sesama. Istilah kelas atas-bawah, mayoritas-minoritas, pintar-bodoh, kaya-miskin, semakin menjamur. Nilai-nilai moral terutama keadilan sosial pun menjadi sesuatu yang sulit digapai.
Mengatasi problem sosial ini, institusi-instusi pelembagaan moral mulai bekerja. Nilai-nilai keadilan kembali digemakan melalui strategi pembenahan relasi antara sesama. Salah satunya adalah dengan menanamkan kembali semangat Pancasilais hidup bersama yang terpatri dalam kelima sila. Pancasila adalah petunjuk bagi arah hidup bersama.
Gereja dan negara dipakai sebagai solusi kasat mata atas problem sosial. Gereja dianggap sebagai sekolah pendidikan iman (nasihat Injili) dan negara sebagai sekolah penyadaran kembali nilai-nilai kehidupan bersama melalui sila-sila dalam Pancasila. Gereja telah ikut ambil bagian dalam membantu persalinan revolusi sosial, misalkan melalui ensiklik Rerum Novarum, Paus Leo XIII yang diterbitkan pada 15 Mei 1891.
Dalam Pancasila, sekat yang diciptakan akibat oposisi biner diruntuhkan. Selain peran negara melalui nilai-nilai yang dikonstitusikan, peran Gereja juga perlu diperhatikan.Â
Dalam catatan sejarah, campur tangan Gereja dalam meredam masalah sosial telah banyak dilakukan dan berhasil. Komunikasi antara agama dan negara dinilai menjadi langkah solutif dalam mencegah konflik sosial, baik vertikal maupun horisontal.
Maka, hubungan Gereja dan negara Pancasilais -- konteks Indonesia -- adalah soal yang praktis dan bukan prinsipil. Hubungan Gereja dan Negara dilihat sebagai salah satu segi dalam keseluruhan hubungan antara Gereja dan dunia. Gereja dan dunia berhubungan dalam hidup dan usaha masing-masing orang beriman (Bernhard Kieser: 1987).
Gereja dan negara menjalin hubungan dalam pelayanan pada manusia yang sama.Â
Gereja mempunyai interese, bahwa dalam struktur negara setiap orang mendapat kelonggaran untuk menjalankan keterlibatan politiknya, agar relasi dengan Allah bisa terwujud. Moral sosial adalah upaya penyadaran kembali akan nilai-nilai hidup bersama yang digilas oleh kekuasaan dan ketamakan.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H