Pada tanggal 26 November 1961, Monseigneur (Mgr) Sugiyopranoto datang ke Solo untuk memberkati Gereja Katolik Ketiga, yang diberi nama Gereja Santa Perawan Maria Regina, Purbowardayan.Â
Pada periode ini salah satu wilayah yang sudah terbentuk adalah wilayah Kampung Sewu. Pada tanggal 26 Juli 1963, Uskup Agung Semarang, Monseigneur Sugiyopranoto meninggal dunia.
Hal ini tentunya menyimpan duka yang mendalam bagi para domba, tak terkecuali umat Solo yang baru dikunjunginya dua tahun sebelumnya. Â Setahun setelah kepergian Sang Pastor (Mgr. Sugiyopranoto) dan bertepatan dengan durasi Proyek Umum Gereja, yakni Konsili Vatikan II (1962 -- 1965), wilayah Kepatihan memasuki fase pembentukan. Â
Sebelum terbentuk menjadi sebuah wilayah dengan jumlah lingkungan yang ada sekarang -- lingkungan Felix, Filemon dan Filipus -- awalnya kepatihan hanya berbentuk kring.
Pak Tukijo dipercaya menjadi ketua kring. Wilayah Kepatihan baru terbentuk tahun 1964 -- bertepatan dengan hari di mana Presiden Soekarno mengumumkan keluarnya Indonesia dari zona PBB.Â
Dengan dibentuknya wilayah Kepatihan, maka diangkat juga salah satu tokoh yang memilki jabatan penting, yakni Pak Sularso sebagai Pamong Wilayah.
Pak Sularso adalah pamong wilayah Kepatihan yang pertama. Jumlah umat Katolik di wilayah Kepatihan saat itu sekitar 30 KK. Banyak orang yang memiliki keinginan dibaptis untuk menjadi Katolik. Untuk menjembatani niat mereka yang ingin dibaptis, Pak Sularso selalu mengantar mereka ke pastoran Paroki Purbayan.
Segala pembinaan dan kegiatan lain yang berkaitan dengan Gereja selalu diantar ke Paroki. Ini berarti Pastor Paroki sendiri yang harus berkotor tangan dalam mengorganisir dan mengarahkan umat. Pamong wilayah -- karena masih dalam tahap pembentukan -- tidak terlalu banyak berperan dalam pembentukan orientasi wilayah.
Tugas pamong wilayah adalah menjembatani komunikasi antara umat dan pastor. Tidak mengherankan, pada periode ini, wilayah Kepatihan semacam berjalan di tempat atau hanya memasuki fase pergantian nama, yakni dari kring ke wilayah. Akan tetapi, hal menarik muncul pada periode ini, di mana banyak umat meminta diri untuk dibaptis.Â
Umumnya umat yang tertarik untuk dibaptis -- di saat kepemimpinan Pak Sularso -- justru sangat didorong oleh nuansa kehangatan dan keramahan yang ditampakkan umat Katolik dalam kehidupan sehari-hari.
Kekhasan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi beberapa kaum Muslim yang akhirnya meminta untuk dibaptis. Tugas Pak Sularso yang saat itu menjabat sebagai pamong wilayah adalah hanya mengantar umat ke pastoran -- menyeberangi keinginan umat untuk dibaptis. Semua urusan selanjutnya menjadi tanggung jawab pastor kepala, yakni Rm. H Wakkers, SJ (1950 -- 1971).