Interaksi sosial yang dialami setiap individu atau kelompok seringkali memiliki pengaruh yang sangat besar dalam hidup bersama. Dalam berinteraksi, seorang individu selalu membawa serta status dan peran sebagai pembeda.
Status dan peran, dalam hal ini berfungsi untuk memilah kelompok masyarakat atau individu, ketika dihadapkan dengan hak dan kewajiban yang  berbeda. Status dan peran justru memperlihatkan kepada publik dari mana seorang individu atau kelompok tertentu berasal. Selain sebagai penunjuk indentitas, status dan peran juga menciptakan tali kekuasaan dan mekanisme berinterakasi.
Status merupakan segi yang ditentukan secara sosial atas diri seorang yang pada gilirannya menentukan sebuah relasi sosial dan mencakup hak dan kewajiban tertentu terhadap orang-orang lain. Setiap orang boleh jadi memiliki sejumlah besar status, seperti paman, dokter gigi, teman, dan sebagainya. Pribadi sosial terdiri dari dan ditentukan oleh keseluruhan jumlah status yang dimaksud.
Pada dasarnya, kita juga perlu membedakan antara status yang diwariskan (ascribed) dan status yang diperoleh (achieved). Status-status yang diwariskan tidak bisa dipilih-pilih; seorang anak lelaki yang berusia tujuh tahun tidak bisa memilih untuk tidak menjadi, katakanlah, seorang pelajar kelas dua SD. Sebaliknya, status-status yang diperoleh diusahakan sendiri oleh si pelaku, misalnya berkaitan dengan profesi seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain status, ada juga istilah lain yang dikemukakan Eriksen, yakni peran. Peran dapat diartikan sebagai tingkah laku yang berjalan sesuai dengan status. Dalam kehidupan sehari-hari, seseroang bisa menggonta-ganti peran. Seorang bapa selain sebagai ayah untuk anak-anak dan suami bagi isteri, ia juga bisa berperan sebagai politisi, guru atau pedangang. Status dan peran membuat seorang individu dibedakan dari individu lainnya.
Dengan peran dan statusnya, seseroang diberi batasan tertentu dalam bertindak. Pola interaksi yang dilatarbelakangi oleh status dan peran menunjukkan bahwa kehidupan sosial mempunyai kekhasan tertentu. Setiap individu bisa bergonta-ganti peran dalam berinteraksi dengan sesama. Gonta-ganti peran menciptakan banyak ruang interaksi dan memperkaya relasi sosial.
Jika seseorang hanya bertindak sesuai dengan statusnya dalam kehidupan sosial, ia justru akan merasa miskin dalam berinteraksi dan berelasi. Akan tetapi, di lain sisi, gonta-ganti peran justru menjadi celah bagi seorang individu untuk berkuasa. Naluri berkuasa dari seorang individu justru terlihat ketika ia memakasakan diri untuk memainkan semua peran dalam orkestra kehidupan.
Â
Norma dan Kontrol Sosial
Hidup bersama, tidak pernah lepas dari aturan. Setiap sistem sosial menuntut adanya aturan-aturan yang menandaskan apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan. Keberadaan norma-norma tidak berarti bahwa terdapat kesepakatan total tentangnya atau kepatuhan total terhadapnya dalam setiap masyarakat. Hal ini hendak menunjukkan bahwa masing-masing kelompok masyarakat memiliki normanya sendiri. Sebagai contoh, boleh jadi bahwa memang ada aturan menyangkut "virilokalitas" -- pasangan yang baru menikah harus segera pindah ke keluarga mempelai laki-laki -- akan tetapi, aturan itu tidak diikuti oleh semua anggota masyarakat.
Pada dasarnya norma-norma yang diterapkan dalam kelompok masyarakat tertentu berisi larangan dan perintah. Semua norma wajib ditaati oleh setiap anggota masyarakat. Dalam sebuah kelompok masyarakat tertentu -- katakanlah suku Dhani di Papua -- memiliki kebiasaan memotong jari ketika isteri meninggal. Jika seseorang menjalankan norma-norma dalam hidup bersama dengan baik, maka ia akan diberi hadiah atau pujian.
Sebaliknya, jika seseorang malah sering bertindak melenceng dari norma-norma yang ada, maka ia akan dikenakan sanksi. Penetapan sanksi mengajarkan kepada pelanggar norma agar belajar dari kesalahan dan mulai mengubah kebiasaan yang menentang dari norma yang ada. Sistem sanksi yang diterapkan manakala norma-norma dilanggar sering disebut kontrol sosial. Pemberian sanksi kepada seseorang memiliki prospek bahwa orang bisa mematuhi pola aturan hidup bersama. Pranata-pranata sosial, seperti kampung, ketua adat, polisi, dll., adalah instrumen kontrol sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H