Hukum dibuat oleh manusia. Mekanisme pembuatannya tak jauh dari kata sepakat. Di mana-mana hukum tentunya bersifat mengikat. Dari sana-lah, asas kepastian itu lahir, tumbuh, dan dipagu praktik. Bagaimana jika hukum dirasa mengekang? Perbaikilah, re-konsensus, biar tak mendera. Itulah yang dibuat Yesus ketika menghadapi ocehan para ahli Hukum Taurat di zaman-Nya.
Hari ini, melalui teks Markus 7:1-8 Yesus dihadapkan pada problem kepastian hukum -- tepatnya Hukum Taurat. Dalam Kitab Imamat, Hukum Taurat dibukukan, lalu dijadikan pedoman hidup bersama -- khususnya bidang keagamaan. Segala ruang gerak hidup, dari dapur hingga ruang tamu kultus keagamaan pun dipalu dalam Hukum Taurat. Orang-orang Israel meyakini bahwa Taurat menjadi segala-galanya ketika berbicara mengenai hukum.
Bagaimana hukum itu diterapkan? Para Ahli Taurat bani Israel, pada dasarnya bertugas menjaga pasal-pasal yang tertuang dalam Hukum Taurat. Mereka diberi wewenang dan mempelajari secara khusus ritme hukum dalam hidup harian masyarakat. Dengan kata lain, para Ahli Taurat adalah para penegak hukum. Mereka bertindak dari, oleh, dan untuk hukum. Atas nama hukum pula, para Ahli Taurat menjerat orang-orang sekitarnya.
Ketika berhadapan dengan Yesus, para Ahli Taurat ini merasa dikucilkan secara teori dan praktik hukum. Mereka merasa lumpuh dan useless di hadapan Yesus. Yesus hadir dengan sebuah alur yang berbeda -- di luar pakem Taurat. Para murid-Nya pun bertindak "melampaui" hukum. Mereka tak mencuci tangan, lalu makan dengan lahap. Mereka tak "bersilaturahmi" dengan Hari Sabat. Aneka bentuk "kelainan" praktik hidup demikian, justru ditentang oleh Ahli Taurat sebagai penjaga dan penegak hukum. Bagi mereka, tindakan Yesus dan para murid-Nya masuk kategori pidana. Oleh karenanya, mereka harus dihukum.
Lalu, bagaimana tanggapan Yesus? Yesus menangkal pertanyaan para Ahli Taurat dan Orang-orang Farisi dengan mengutip pernyataan Nabi Yesaya: "Bangsa ini memuliakan aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku!"Â
Bagi Yesus, tindakan-tindakan lahiriah bukan menjadi cermin sepenuhnya mengenai isi hati seseorang. Apa yang keluar dari hati seseorang, menurut-Nya, itulah yang menajiskan. Bagi Yesus, para penjaga hukum Israel adalah penghukum. Mereka membuat aturan agar menjerat. Padahal hukum dibuat untuk mendidik seseorang.
Kedengkian dan kemunafikan para penegak hukum menjadi tantangan bagi Yesus. Dalam menanggapi para penegak hukum, Yesus justru menguji suara hati mereka: "Apakah kalian benar-benar mencuci tangan ketika hendak makan? Bagaimana dengan hati kalian? Apakah hati kaliah juga ikut dicuci?"
Ketika merayakan perayaan ekaristi, keselarasan antara persiapan batin dan hal-hal lahiriah adalah dua elemen yang perlu dibasuh. Seperti sebuah cawan, bagian luar yang keemas-emasan haruslah sama dengan bagian dalamnya.Â
Artinya, ketika kita masuk dalam perjamuan Tuhan -- ekaristi misalkan -- kita tak hanya mempersembahkan kiat-kiat lahiriah semata, tetapi juga isi hati. Jika kita menerima Tuhan hanya dengan tubuh yang sudah dibersihkan, namun hati masih menyimpan dendam dan komitmen jahat, kesalehan kita justru dipertanyakan.
Yesus datang, memang bukan untuk meniadakan Hukum Taurat. Ia datang justru untuk melengkapinya (menyempurnakan). Ketika hukum dibuat oleh manusia, hukum pun bisa diperbaiki (diamandemen).Â
Inilah unsur lain dari hukum yang mampu membebaskan kita sebagai subjek hukum. Karena hukum merupakan seperangkat norma yang disistematisasi, sebaiknya perlu didalami. Kita tak bisa dipaku mati lalu tak mampu berargumentasi, hanya ketika hukum memerintah dan melarang demikian. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H