"Kapan balik?" Pertanyaan ini gak mudah dibuat, terus disampaikan. Jika tahu bahwa aku sudah pergi, pertanyaan "kapan balik" adalah keharusan. Tapi, pertanyaan ini tak semudah saat aku pamit pergi. Jika pergi untuk beberapa waktu, aku bisa mengurung niatku 'tuk menanyakan, "Kapan balik?"
Memang, tak semua orang menyukai pertanyaan ini. Ketika pertanyaan "Kapan balik?" dibuka selebar jarak, aku yakin tak ada jawaban pasti untuk diakhiri serupa jawaban. Jadi, bersabar ya! Semakin lebar dan sering pertanyaan ini diumpan, aku yakin jarak itu lekas malu. Setidaknya, malu untuk menyampaikan kapan pastinya.
Di pelupuk Agustus, aroma kisah-kisah asmara masa lampau hampir bising diobrak-abrik. Ya, kisah asmara, yang kulipat di antara ingatan dan bahasa yang sungkan.Â
Betapa tidak, saat kubuka beberapa kertas kecil yang dibungkus catatan ranum, aku hampir menyentuh arti sebuah relasi. Jangan tanyakan dengan siapa dan untuk apa.Â
Itu tabu untuk sebuah kenangan. Beberapa kertas kecil itu masih apik dikuras waktu. Meski sudah hampir lima tahun, catatan itu tetap segar dalam ingatan. Mereka tersusun rapih.
"Jika ada kabar baik, sampaikan sesingkat mungkin!" begitu pesan itu dirangkai. Aku mengerti isi pesan ini, sebab setiap kali ada pembicaraan tentang kita, aku tak luput diserang pertanyaan singkat, juga pesan singkat.Â
Semakin singkat, semakin jauh untuk dibungkus dalam ingatan. Pesan singkat juga pertanyaan singkat memerlukan biaya ingatan dan harapan yang mahal. Aku harus duduk dan bermenung. Aku harus terlebih dahulu menawarkan kisah masa lalu agar lekas diramu untuk sebuah jawaban. Berat rupanya.
Ketika kujedukkan ingatanku ke hulu kisah asmara ini, hampir tak ada yang luput dari himpunan bahagia. Aku, ingatan, dan masa lalu adalah kita yang akur di sekitar relasi.Â
Di kedai kopi, di pantai, di tempat perbelanjaan, di toko buku, di taman, di banyak tempat, kita menuangkan kisah-kisah teduh pada cangkir-cangkir harapan yang siap diseduh kapanpun. Tapi itu seduhan ingatan.
Mengaduk ingatan di Sabtu Malam adalah pekerjaan terberat -- apalagi soal asmara. Meski pelupuk malam disampul embun, takaran ingatan yang sarat kadar masa lalunya, agak susah dirangkai.Â
Di tempat makan, dekat masa lalu, kita sempat bersepakat. Iya, aku ingat betul, tangan kanannya menyeka janji. Untuk hari esok. Untuk sekarang. Untuk masa depan, dan untuk kita. Tepat 21 Agustus, aku pergi dan ditagih janji yang sama: "Kapan balik?"
Pertanyaan "Kapan balik?" seperti tak pernah usai. Apapun pembicaran kita, selalu dilengkapi refren sempurna "Kapan balik?" Aku belum tahu persis bagaimana merangkai jawaban yang memuaskan untuk tajuk "Kapan balik?" Aku persis dihimpit, disekap, dirogoh silau masa lalu, dan masuk ke dalam penjara kata. Aku berusaha merangkai jawaban pasti, biar kepastian itu menjadi jawaban terakhir. Entah kapan balik, kita harus selalu menyeka ingatan. Di sanalah jawaban itu mendekati kepastian.
Katanya: "Jadi, kutunggu balimu!" Jangan berlama-lama. Jangan sungkan 'tuk pulang. Jangan gegabah pula. Jika suatu saat aku pulang, apakah kamu masih mengingat dengan pasti jejak-jejak yang dipadu jarak saat ini? Jika lupa, jangan tanya lagi "Kapan balik?" Aku pasti balik. Aku pergi agar kupenuhi jawaban "Kapan balik?" Menunggu "Kapan balik" adalah kita. Menunggu "Kapan balik" adalah kita yang tak sempat pamitan.
Sabtu untuk sebuah pertanyaan "Kapan balik?" menjadi momen langka untuk bersatu. Jika aku balik untuk sebuah janji, hal apa yang pertama kali kamu lakukan? Kalimat apa yang bakal terucap dari rona bibir sepimu? Apakah tangan kananmu akan membuat perjanjian di perjumpaan kedua kita? Soal kapan aku balik, hanya spasi yang tak mau tahu. Soal kapan aku balik, yakinlah aku punya kesempatan untuk balik. Tapi, mungkin sebaiknya sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H