PPKM) darurat mendulang banyak pro dan kontra. Bagi mereka yang memiliki usaha dan bekerja, PPKM pada dasarnya menghambat sirkulasi ekonomi.Â
Skema kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (Usaha kecil yang menyantuni interaksi antara penjual dan pembeli pun dibatasi. Ruang gerak di luar rumah dibekukan. Lalu, apa yang bisa diandalkan?
Menunggu dana bansos. Ketika pengetatkan kebijakan PPKM digalangkan, semua harapan lari ke pembuat kebijakan. Berbagai jenis pertanyaan menembak jendela pendengaran, nalar, dan hati para pembuat kebijakan.Â
Presiden dikritik, Menteri ditodong, dan bahkan sampai ke ruang pemerintah desa, orang-orang yang disebut-sebut terdampak kebijakan PPKM mulai berdesis. Di gang-gang, dapur tetangga sebelah, kebun, dan tempat yang disetting "hening" lainnya, dana bansos dibahas.
Pertanyaan massal muncul ke permukaan. Kapan dana bansos dicairkan? Kenapa bukan hari ini? Katanya tanggal sekian. Kenapa kami gak dapat bantuan? Bukannya kami yang paling terdampak? Ini tidak adil. PPKM membunuh kami. PPKM menghentikan sirkulasi ekonomi. Kami butuh suntikan dana. Kami butuh bantuan pemerintah. Kami butuh imun di sektor ekonomi selama masa PPKM. Segala kebutuhan ini mengarah ke satu pintu: dana bansos.
Tidak apa-apa. Untuk kesehatan bangsa dan negara, pemerintah berani taruhan. Pemerintah berani mengeluarkan bujet gede. Pemerintah berkomitmen.Â
Pemerintah berencana sekaligus berharap pada kesuksesan rencana itu. Di masa PPKM darurat, pengawasan mobilitas warga dan proses pengecekkan lebih ditingkatkan.
Pemerintah berupaya semua anggota masyarakat betah di rumah. Semua anggota masyarakat melakukan kegiatan hariannya dari dan di rumah. Ada batasan yang dibuat. Selama dua pekan, kita diminta agar di rumah saja.
Dari sini, kita bisa membayangkan bagaimana kurva terbalik akan menampilkan skema pergerakan ekonomi. Ketika masa normal, proses perputaran uang dan kesuksesan bisnis terjadi ketika mobilitas warga di luar rumah diberi ruang.Â
Di masa pandemi Covid-19 plus PPKM darurat malah terbalik. Di masa ini, pergerakan ekonomi justru berjalan mulus sambil duduk manis di dalam rumah. Mereka yang masuk dalam daftar keluarga terdampak dan diminta di rumah saja, masing-masing disuntik dana sebesar Rp 600.000 per orang.
Tema pembicaraan harian pun mendesak panas. Ada yang mengatakan: "Mari kita pertahankan situasi seperti ini! Pandemi memberimu santunan!" Ini pernyataan realistis. Ya memang demikian. Jika hendak keluar dari resesi lokal dan nasional, sebaiknya kita tak perlu takut membuat taruhan. Kita diminta untuk taat. Kesetian kita untuk taat justru diapresiasi oleh pemerintah dengan memberikan santunan berupa uang tunai.