Kontekstualisasi teologi adalah suatu upaya untuk memahami iman Kristen ditinjau dari suatu konteks tertentu. Dengan kata lain, konteks atau situasilah yang mengharuskan kita berteologi -- sebuah imperatif teologis. Dewasa ini, kita boleh mengatakan bahwa teologi memiliki tiga sumber, yakni Kitab Suci, Tradisi Suci, dan pengalaman manusia.
Pada pemahaman awal mengenai teologi sebagai refleksi iman, kita hanya mengenal dua sumber utama berteologi (loci theologici), yakni Kitab Suci dan Tradisi. Akan tetapi, pada pemahaman yang lebih progresif, kita juga mengenal istilah teologi kontekstual yang menelurkan ciri baru, yakni refleksi pengalaman manusia dikolaborasi dengan sumber utama -- Kitab Suci dan Tradisi.Â
Pengintegrasian tiga loci inilah yang membuat teologi menjadi semakin kontekstual. Teologi yang berwajah kontekstual menyadari bahwa kultur, sejarah, dan model berpikir temporer, harus dirangkul bersama dengan Kitab Suci dan Tradisi (Bevans, B. Stephen, Model-Model Teologi Kontekstual: 2002).
Sejarah mencatat bahwa berteologi secara kontekstual telah membawa banyak perubahan sekaligus pengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Suatu revolusi sosial lahir dari cara berteologi seperti ini, contohnya teologi pembebasan di Amerika Latin. Teologi kontekstual pada kenyataannya menawarkan berbagai model atau cara dalam berteologi.
Setiap model teologi menyajikan suatu cara berteologi yang khas, mengindahkan konteks tertentu dan pengandaian-pengandaian yang juga khas. Pada kesempatan ini, kelompok akan mengurai sebuah teologi model praksis -- yaitu, model berteologi yang bergerak melingkar, yakni dari aksi menuju refleksi, kembali ke aksi, dan seterusnya (ada unsur repetition). Model praksis memberi ruang bagi pengungkapan pengalaman personal dan komunal.
Sebagai contoh dari teologi model praksis adalah gerakan pembebasan masyarakat Amerika Latin. Teologi pemebebasan adalah suatu kemampuan melihat secara analitis, menimbang secara teologis dan bertindak secara pastoral. Latar belakang munculnya teologi pemebebasan ini dimotori oleh kenyataaan tertindas, ketidakadilan, kemiskinan, pemerasan, dll., Â yang dialami oleh masyarakat Amerika Latin.
Revolusi sosial yang menyejarah sekaligus monumental di seluruh Amerika Latin itu, lahir dari sebuah keprihatinan sosial -- bukan sebuah usaha personal. Metode dalam teologi pembebasan boleh kita ringkas demikian, "....refleksi atas aksi dan aksi berdasarkan refleksi". Refleksi yang terus-menerus antaraksi dan refleksi ini yang kemudian disebut oleh Gutierrez sebagai "refleksi kritis atas praksis".
Menurut Gutierrez, langkah pertama dalam teologi pembebasan adalah aksi, yakni suatu komitmen dan tindakan nyata. Langkah kedua, menurutnya adalah teologi, yakni refleksi atau teori sesudah aksi. Aksi terbenam, terbitlah teologi atau refleksi, dalam roda melingkar (spiral). Perhatian teologi pembebasan tidak hanya sampai pada tataran intelektual (refleksi atas refleksi atau interpretasi atas interpretasi), tetapi lebih dari itu, yakni iman dalam segi perilaku.
Teologi pembebasan berawal dari satu komitmen, komitmen dalam iman kepada orang-orang yang terpinggirkan dan tertindas -- kaum anawim Allah -- kaum miskin Amerika Latin, kaum perempuan yang tertindas, terpinggirkan, dll. Jadi, yang pertama-tama bukanlah teologi, melainkan praktik pembebasan. Semboyan teologi pembebasan adalah kembali beraksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H