Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Parodi Tak Berujung Sengketa Pilkada 2020

10 Mei 2021   19:25 Diperbarui: 10 Mei 2021   19:25 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapan sengketa pilkada 2020 usai? Bak parodi, sidang sengketa pilkada 2020 terus bergulir. Menariknya, yang semula menjadi tergugat, kini berbalik menjadi penggugat. Pemilihan Suara Ulang (PSU) membuka lahan sengketa baru. Hasil PSU seperti memperpanjang rute perjalanan sidang sengketa pilkada.

Pilkada 2020 sepertinya tak akan menyentuh selesai. Barisan daftar laporan sengketa Pilkada 2020 tetap merapat ke meja Mahkamah Konstitusi (MK). Dari Sabu hingga ke Merauke, harapan akan keadilan digodok. Hasil putusan MK atas perkara sengketa pilkada beberapa Minggu yang lalu sempat merekomendasikan kegiatan pemungutan suara ulang (PSU). Pertanyaannya bagaimana kira-kira hasilnya?

Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif M Ihsan Maulana dalam diskusi daring menjelaskan bahwa ada lima kabupaten yang melayangkan laporan gugatan baru ke MK atas kegiatan PSU. Kelima kabupaten ini, antara lain Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Rokan Hulu, dan Kabupaten Sekadu (Media Indonesia, 3/5/2021). Menurut hasil penelitian Kode Inisiatif, PSU justru memunculkan sebuah model sengketa baru, yakni pihak tergugat saat sengketa Pilkada 2020 menjadi pihak penggugat pasca PSU.

Beban Kerja KPU

Pemungutan suara ulang (PSU) sempat memberi harapan terkait polemik sengketa pilkada yang berlarut-larut. Ketika MK mengeluarkan putusan untuk mengadakan PSU, beban kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejatinya diperlebar dan diperberat. Dalam hal ini, KPU akan mengatur dinamika, skema, sekaligus materi PSU secara cepat agar proses penyelesaian tidak terkatung-katung dan mendapat keputusan pasti-definitif. Beban kerja memang sangat memengaruhi orbit rencana kerja untuk kegiatan-kegiatan pemilu di masa yang akan datang.

Ketika PSU dijadikan strategi manajemen kebijakan deal polemik sengketa pilkada, outlook-nya jatuh pada penyelesaian persoalan. Dengan PSU, proses penemuan keadilan tidak diakomodasi hanya melalui kekuatan hukum semata (putusan MK), tetapi juga melalui prosedur objektif di lapangan. Dalam hal ini, semua hilir dari kemauan pihak yang merasa kalah pada periode Pilkada 9 Desember 2020 kemarin adalah PSU. Kecurigaan akan adanya permainan jumlah suara di beberapa tempat pemungutan suara (TPS) menjadi bukti sekaligus rekomendasi penemuan rasa keadilan.

Akan tetapi, ada sebuah polemik baru yang justru terjadi dari rekomendasi penemuan rasa keadilan melalui PSU. Data laporan sengketa Pilkada yang baru memaksa pihak yang sebelumnya menjadi tergugat -- menang dalam Pilkada 2020 kemarin -- merasa PSU menjadi data komponen polemik baru. Dinamikanya, dengan kata lain terbalik -- yang sebelumnya tergugat, pasca PSU malah menjadi penggugat. Hemat saya, dinamika ini justru akan merugikan banyak pihak. Masyarakat dalam hal ini akan terkatung-katung tanpa kejelasan siapa pemimpin sah yang menahkodai daerah. Selain masyarakat yang absen pemimpin, beban kerja KPU akan semakin menumpuk.

Tindakan saling lapor dan manajemen penyelesaian sengketa jika ditarik dari pengalaman ini mendapat catatan serius. Dalam lingkup proses pemilihan suara yang relatif kecil -- katakanlan satu atau dua TPU yang melakukan PSU -- kecurigaan dan data kecurangan tetap terlihat. Jika demikian, bagaimana dengan skala pemantuan-pengawasan suara dalam jumlah TPS yang relatif lebih lebar dan kompleks seperti pilpres? Apakah kita boleh mengatakan bahwa kecurangan dan ketidakjujuran merupakan sesuatu yang pasti dalam setiap proses pemungutan suara? Lembaga KPU saat ini tengah berfokus pada rencana proyek besar menuju Pemilu 2024. Harapannya, fokus kerja mereka tidak lagi tertatih-tatih hanya karena beban polemik Pilkada 2020 yang tak kunjung usai.

Absen Pemimpin 

Proses sengeta yang berlarut-larut, tentunya berdampak buruk terhadap ekosistem roda perkembangan dan kemajuan daerah. Saat ini, sebagian besar wilayah kabupaten yang masih menunggu keputusan definitif terkait kejelasan pemimpin, masih dipimpin oleh seorang pelaksana tugas. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, sifat kepemimpinan seorang pelaksana tugas hanya berlaku sementara dan dalam koridor menunggu. Semua kebijakan dan rencana kerja, dengan demikian berstatus menanti aprobasi kepala daerah terpilih. Semuanya pun bersifat tidak pasti.

Naluri berkuasa masing-masing pasangan calon (paslon) mengorbankan rakyat. Antara kedua kubu tidak ada yang mau melapangkan dada dan "legawa" menerima kekalahan pasangan lain. Watak ini, tentunya sangat akusentris dan egosistem. Meskipun orbitnya demi penemuan rasa keadilan, proses penyelesaian sengketa pilkada yang berlarut-larut sungguh membawa dampak buruk bagi kemajuan suatu daerah. Di tengah pandemi Covid-19 ini, masyarakat tentunya sangat mengharapkan sosok pemimpin. Kehadiran seorang pemimpin, dengan kata lain memberi skema perjalanan yang baik bagi setiap anggota masyarakat agar bisa keluar dari jeruji pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun