Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Asas Non Retroaktif dan Penangguhan Konsep Keadilan

26 April 2021   20:05 Diperbarui: 26 April 2021   20:41 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi terkait UU Terorisme. Foto: baliexpress.jawapos.com.

Dilema dalam memutuskan suatu perkara adalah pekerjaan berat yang dihadapi seorang hakim. Untuk itu, seorang hakim harus memiliki banyak tuntutan ketika berhadapan dengan sebuah perkara. 

Dalam dunia peradilan Indonesia, publik pernah berhadapan dengan sebuah kasus yang mengguncang dunia, yakni upaya penegakan hukum dan penemuan keadilan atas peristiwa Bom Bali, 12 Oktober 2002. Peristiwa ini menelan banyak korban, baik domestik (Bom Bali I) maupun internasional. Pada waktu itu, dunia memandang peristiwa Bom Bali sebagai tindakan terorisme.

Akan tetapi, Indonesia, ketika peristiwa itu terjadi, belum mempunyai undang-undang khusus tentang pemberantasan aksi terorisme. Karena itu, dasar hukum yang dipakai untuk menangani kasus ini hanyalah hukum pidana yang sudah ada. 

Para pelaku pemboman, saat itu, hanya dapat dikenakan penyidikan berdasarkan ketentuan KUHP pasal 340 tentang pembunuhan berencana. Karena kurangnya pedoman, Indonesia kemudian membuat UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk dikenakan kepada para pelaku Bom Bali. Hal ini berarti, Indonesia menerapkan hukum secara retroaktif, yakni kasus Bom Bali lebih dulu terjadi baru kemudian dibuat undang-undang.

Problemnya adalah, Indonesia, sebagaimana bangsa-bangsa lain sudah mengakui HAM dan telah menetapkan di dalam UUD 1945 mengenai pelanggaran pemberlakuan asas retroaktif demi menjamin HAM. Karena Indonesia menghormati HAM sebagai hak tidak terberikan, maka asas non-retroaktif ditempatkan sebagai asas fundamental dan dilindungi hukum. Penekanan dari asas ini adalah setiap warga negara mempunyai hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Keadaan dilematis pun muncul ketika berhadapan dengan kasus ini, yakni antara menghormati HAM para pelaku pemboman dengan menerapkan secara murni asas non retroaktif dari hukum pidana atau menghormati HAM para korban pemboman itu dengan cara melanggar asas non retroaktif? Letak keadilannya dipersoalkan?

Sikap pemerintah Indonesia yang didukung oleh masyarakat internasional adalah menghukum para pelaku seberat-beratnya karena peristiwa Bom Bali merupakan pelanggaran HAM berat. Akan tetapi, persoalannya, Indonesia belum memiliki aturan hukum mengenai pemberantasan terorisme. Dan, ketika rancangan UU Pemberantasan Terorisme diajukan, Mahkamah Konstitusi RI malah membatalkannya oleh karena permohonan judical review yang diajukan oleh salah satu pelaku Bom Bali, yakni Masykur Abdul Kadir.

Dalam kerangka pemikiran positivisme hukum, upaya pengajuan permohonan judicial review bernilai secara teoritis karena akan menjamin kepastian hukum sekaligus melindungi HAM, yakni hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Undang-undang Dasar RI 1945, Pasal 28 I Ayat 1 mengatakan bahwa: 

"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun."

Atas dasar tuntutan ini, bagaimana kita dapat menemukan keadilan? Bagaimana dengan para korban Bom Bali jika asas non retroaktif menjamin eksistensi para pelaku Bom Bali? Atau sebaliknya, bagaimana dengan para pelaku Bom Bali jika HAM -- tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut -- justru dilanggar demi tercapainya keadilan yang diinginkan oleh masyarakat umum (Indonesia dan komunitas internasional)? 

Tentunya, perkara ini tidak mudah dijawab. Panggilan menuju keadilan mengalami diffrance: menangguhkan sekaligus berharap. Di sinilah kebaruan pemikiran Derrida mengenai keadilan mendapat tempat. Aporia keadilan di mana kita mengalami jalan buntu di hadapan keluasan makna keadilan, justru mendorong kita untuk terus mencari jalan. Diffrance sebagai sikap menunggu sekaligus berharap, aktif sekaligus pasif merupakan ciri dari ide keadilan yang tidak terbatas. Diffrance menunjukkan bahwa keadilan adalah sebuah pengalaman yang tidak mungkin.

Kata diffrance tidak ditemukan dalam kamus bahasa Prancis. Kata ini sejatinya diciptakan oleh Derrida sendiri. Yang ada dalam kamus bahasa Prancis hanya kata diffrence yang artinya sama dengan kata bahasa Inggris difference, yakni perbedaan dan kata diffrer. 

Kata terakhir ini mempunyai dua arti: sebagai kata kerja intransitif yang berarti berbeda, bertolak belakang dan sebagai kata kerja transitif yang berarti menunda, menangguhkan. Diffrance dalam bahasa Prancis seharusnya menggunakan akhiran "-ence," tetapi Derrida sengaja menggunakan "-ance" untuk menunjukkan peleburan dua makna kata kerja diffrer, yakni berbeda dan menunda.

Penggantian huruf ketujuh dari "e" ke "a" tidak mengubah ucapannya. Dengan penggantian huruf tersebut hendak ditunjukkan bahwa ucapan yang dari kacamata metafisik dianggap prioritas, justru tidak mampu melukiskannya, (bdk. Haryatmoko, Membongkar Rezim Kepastian, 137). 

Menurut Derrida, diffrance di atas segalanya bukanlah sebuah substansi, bukan esensi, atau penyebab. Diffrance bukanlah sebuah konsep dan bukan pula sebuah kata. Alasannya, setiap konsep dan kata terjalin dalam suatu rangkaian konsep-konsep di mana setiap konsep menunjuk kepada konsep-konsep lain dalam suatu permainan perbedaan. Diffrance juga sama seperti trace karena tidak pernah tertangkap kehadiran.

Derrida menjelaskan kata diffrance demikian: 1) diffrance menunjuk pada apa yang menunda kehadiran; 2) diffrance adalah gerak yang mendiferensiasi -- dalam arti diffrance adalah akar bersama bagi semua oposisi, seperti indrawi-rasional; 3) diffrance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dan struktur; dan 4) diffrance dapat menunjuk pada berlangsungnya perbedaan antara Ada dan ada, suatu gerakan yang belum selesai (Jacques Derrida, Positions, 1981:8-10).

Selain itu, diffrance tidak boleh dibayangkan sebagai "asal-usul," atau identitas terakhir. Justru hal ini yang mau ditolak oleh Derrida, karena menurutnya tindakan itu tidak lain daripada metafisika. Derrida menolak segala asal-usul diffrance pada kebenaran dalam Allah, kesadaran, roh, materi, sebagaimana yang dijelaskan oleh metafisika Barat, (Jacques derrida, Speech and Phenomena. And Other Essays on Husserl's Theory of Signs, 1973:129-131; bdk. Norbertus Jegalus, Hukum Kata Kerja, 139-140).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun