Sabtu kali ini kurang bersahabat. Seperti terlambat. Semakin hari, seperti berada di antara. Ya di antara. Persis di antara jenis pilihan yang tak jelas. Sudah tak jelas, aku merasa nyaman dan menunda-nunda untuk memutuskan. Aku bergulat dengan sesuatu yang jelas-jelas aku sendiri tak sukai. Ini gila banget. "Sia-sia," kata pemazmur. Aku buang-buang waktu, juga energi. Aku hanya mengikuti. Seperti ikan di aquarium, aku seperti ditakdirkan.
Kurang lebih seperti ini. Ketika kita menghidupi sesuatu yang bukan pilihan kita sendiri, saya yakin setiap hari kita akan menjadi sendiri terus. Meski banyak yang mengklaim bahwa aku baiknya seperti apa yang ada sekarang dan jangan mengubah pilihan lain, aku merasa aku semakin dan tetap sendiri. Mereka yang mengatakan aku baiknya seperti sekarang berjumlah ratusan, ribuan, dan bahkan puluhan ribu. Tapi yang menolak anggapan ini cuman diri saya sendiri. Meski mereka banyak, efeknya lebih buruk ketimbang aku sendiri yang mengatakan dan memutuskan ini yang terbaik.
Aku bergulat dengan diri sendiri karena orang lain sudah menciptakan takdir untukku. Sepanjang hidup, hal itu bakal jadi penyakit. Lama-lama berubah level menjadi kronis. Aku bergulat, bergulat, bergulat, dan gulat. Banyak obat penenang ditelan. Banyak hiburan sesaat direngkuh. Biar. Kataku: "Biar aku melupakannya! Biar tak membuang-buang energi tuk memikirkannya. Biar aku bisa istirahat dengan baik. Biar hari-hariku tetap ceria."
Aku duduk dan mengambil kemudi refleksi. Kataku: "Aku hidup untuk keutuhan orang lain. Aku hidup agar mereka bahagia. Aku hidup agar....ya agar orang lain tak menaruh cap buruk untukku; ya agar mereka yang menyaksikankku dari jauh merasa bahagia, ya agar mereka." Baik juga sebetulnya. Aku seperti orang yang bijak dan sangat matang. Aku memikirkan sesuatu di luar egoku. Aku menempatkan yang lain di luar diriku sebagai prioritas. Lantas aku sendiri bagaimana? Aku terus-menerus bingung dan menunda-nunda. Aku sendiri menciptakan proyek hidup yang membebankan diriku sendiri.
Aku berani dari sini dan tak pernah keluar dari sini. Aku hanya berkoar-koar di dalam. Aku hanya sampai di kata. Aku tak berani membuat keputusan dan berani mengatakan kalau aku sebetulnya tak bisa melalui jalan ini. Suara-suara di luarku menyahut: "Sudah terlanjur. Ayo teruskan saja. Dikit lagi!" Ada lagi suara yang bilang: "Tenang, itu godaan sesaat. Itu tantangan. Itu bagian dari pencermatan. Kamu diuji agar matang. Dipikirkan lagi!" Ketika mendengar suara-suara ini, aku mangurung niat, menunda-nunda, dan pergi tanpa keputusan apa-apa.
Tegangan dan posisi di antara ini, uniknya jatuh di Sabtu. Tepat di sela-sela April mengakhiri perjalanan. Aku kemudian menghela napas. Jenuh rasanya. Jenuh karena aku tidak pernah menjadi diriku sendiri. Jenuh karena aku berbohong. Berkali-kali. Aku bohong dengan diriku sendiri. Aku memberi makan diriku sendiri dengan opium. Aku merokok. Aku pelesiran tak jelas. Aku tertawa terbahak-bahak. Semuanya kulakukan di sela-sela penundaan. Aku akan hidup di antara terus. Aku menciptakan tegangan terus-menerus. Aku lupa kalau aku sudah memberi makan diriku sendiri dengan hal-hal yang tidak pasti.
Yang pasti, aku tidak berani. Yang pasti, aku menggenggam benda-benda tajam yang semakin lama membuat aku tak bebas. Situasi yang aku alami bukan kali pertama. Situasi ini sudah lama sekali. Lama sejak aku tak berani membuat keputusan yang datang dari diriku sendiri. Waktu terus berjalan dan aku tetap seperti ini.
Mungkin aku sendiri yang mengalami hal seperti ini. Jika kalian juga mengalami hal yang sama, lebih baik berani. Lebih baik berani mengambil resiko atas pilihan yang kalian sendiri putuskan daripada menghidupi keinginan orang lain. Mencintai pilihan yang bukan datang dari sendiri itu berat. Semakin dicintai, semakin kamu melupakan dirimu sendiri.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H