Krisis ada bersama di era digital sekarang adalah bencana kemanusiaan. Krisis ini dibarengi dengan munculnya trend hidup yang meninggratkan individualisme. Kanselir German, Angela Merkel bahkan mengatakan bahwa "Lawan dari cinta, di zaman sekarang adalah ketidakpedualian."Â
Orang zaman sekarang mau hidup sendiri-sendiri, tidak mau diganggu dan bahkan membentengi diri dengan tembok, satpam, anjing galak, kawat berduri, CCTV, dll. Alhasil, ujung dari semua ini adalah retaknya hidup bersama. Waktu untuk makan bersama pun, bahkan tidak ada.
Lalu pertanyaan yang perlu dipikul bersama adalah "Mungkinkah ada bersama itu menciptakan ke-hidup-an, sehingga harus dibicarakan?" Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam kisah Injil hari ini.Â
Yesus menampakkan diri kepada semua murid (Luk 24:35-48), justru karena para murid tengah merindukan kebersamaan. Kerinduan ini, tidak hanya bersifat maya (online), tetapi real tertuang dalam kegiatan makan bersama, tegur-sapa, duduk-bersama, sharing, dll.
Ada bersama, dengan kata lain, membutuhkan ruang sekaligus waktu. Akan tetapi, kedua fasilitas ini kadang menjadi kendala untuk sekadar ada bersama.Â
Orang kadang sibuk, dan mengatakan "Sorry, saya gak punya waktu," atau "Sorry, tempatnya di mana?" Untuk masalah ini, Yesus justru mengatakan "Tak usah ribet memikirkan waktu dan tempat. Meja makan sudah cukup untuk menghidupkan kembali kebersamaan."
Dua kata ini (meja dan makan) sudah mewakili dua fasilitas yang kita takuti tadi, yakni berkaitan dengan waktu dan tempat. Waktu yang tepat di mana orang tidak bisa mengelak ketika diajak untuk ada bersama adalah waktu makan dan tempatnya sudah pasti di meja makan. Maka, teologi meja makan, agaknya menjadi salah satu alternatif bagaimana krisis hidup bersama diselesaikan.
Jika kita bersafari sebentar ke dalam realitas hidup keluarga sekarang, kita mungkin bisa menghitung jumlah keluarga yang memiliki time table. Di Amerika, hampir 90 persen keluarga, jarang punya waktu 'tuk makan bersama. Padahal dalam makan bersama kita sebetulnya sedang mengisi power bank kehidupan kita.
Kisah dua murid yang berjumpa dengan Yesus dalam perjalanan ke Emaus, sejatinya merupakan contoh baik bagaimana teologi meja makan menghidupkan aspek lahir-batin seseorang. "Waktu Ia duduk makan dengan mereka,.........ketika itu, terbukalah mata mereka dan mereka pun mengenal Dia" (Luk 24:30-31).Â
Makan bersama adalah awal dari keterbukaan kita untuk menerima yang lain. Karena makan bersama (mungkin di sana ada cerita seputar identitas, kekerabatan, pekerjaan, dll) dan cerita-cerita tersebut, toh mengantar orang pada sebuah pengenalan (dua murid akhirnya mengenal Yesus).
Di sini, kita dapat memahami bahwa persaudaraan, hidup bersama dan kehidupan itu sendiri menjadi lebih bermakna dan mendapat perhatian penuh ketika kita hadir di meja makan. Yesus bahkan menghentak krisis iman para murid pasca kebangkitan dengan ilustrasi makan. "Adakah padamu makanan di sini?" (Luk 24:41b). Maka, makan bersama atau teologi meja makan menjadi sumber persekutuan Gereja hingga sekarang.Â