Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Minggu Paskah II: Jeda Sebelum Percaya

11 April 2021   17:48 Diperbarui: 11 April 2021   17:55 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepercayaan adalah insfrastruktur utama dalam mendekatkan diri dengan Tuhan. Ketika kabar "kubur kosong" tersiar di telinga massa pro dan kontra kebangkitan Yesus, agaknya keragu-raguan muncul di sana. Ada desas-desus bahwa peristiwa kebangkitan merupakan sebuah rekayasa; atau tepatnya hoax. Bagaimana mungkin Kristus yang disalib tiba-tiba hilang dari makam?

Thomas, salah satu dari keduableas murid Yesus bahkan sempat menolak berita kebangkitan Yesus (Yoh 20:25b). "Saya butuh bukti!", kata Thomas. Jika kita hijrah ke realitas sekarang, apakah berita-berita semacam (kubur kosong, Yesus memberi makan 5000 orang, atau kisah Yesus berjalan di atas air) masih bisa dicicipi? Atau tepatnya, "Bagaimana seharusnya beriman di era pandemi hoax?"

Pertanyaan ini sangat menggelitik dan agaknya provokatif. Akan tetapi, hemat saya, kita perlu berkaca sebentar pada cermin zaman yang tengah dibanjiri hoax. Beriman memang masih relevan di era hoax, akan tetapi, saya tambahkan, hal itu perlu dibarengi dengan sikap was-was. Oleh karena itu, Paus Fransiskus mengingatkan semua umat Katolik di seluruh dunia mengenai bahaya berita palsu.

Yesus sendiri meyakinkan kita semua -- bukan hanya untuk murid-murid yang dikisahkan dalam Injil hari ini -- tentang keragu-raguan dan rasa pesimis. 

Kata Yesus, "Karena telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya (Yoh 20:29). Rasa cemas yang dialami para murid adalah replika dari perasaan cemas umat zaman sekarang.

Ada begitu banyak berita palsu sekaligus nabi palsu. Dalam bacaan pertama hari ini pun, rasa cemas dan pesimis itu gamblang terlihat. Untuk mengatasi masalah ini, para rasul berupaya memilih tujuh orang dari antara para murid yang terkenal baik, penuh dengan roh dan hikmat untuk sebuah tugas perutusan (Kis 6:1-7). Prospeknya adalah orang tetap teguh beriman kepada Yesus yang bangkit, meskipun hoax dan nabi palsu mengintari.

Hari ini, penginjil Yohanes mengisahkan Yesus yang menampakkan diri kepada semua murid. Dalam teks Injil Sinoptik, reaksi para murid sangat ekstrim-manusiawi ketika Yesus hadir di tengah-tengah mereka. Reaksi gamblang soal disposisi manusiawi seseorang muncul dalam diri Thomas. Ketika para murid yang lain menyakinkan, Thomas meminta bukti. Reaksi Thomas dalam artian tertentu adalah wajar, karena memang gagasan kebangkitan saat itu masih menjadi polemik antara dua kubu besar orang Yahudi, yakni Sauduki dan Farisi. Selain itu, para murid jarang melihat peristiwa-peristiwa kebangkitan selain kisah Lazarus.

Reaksi ini, kiranya sama dengan apa yang dialami orang-orang zaman sekarang. Ketika melihat berita di portal medsos, orang cenderung cepat-cepat menghakimi tanpa mengklarifikasi unsur kebenaran. 

Dengan kata lain, orang suka merajam sesamanya dengan kata-kata hanya karena dia atau mereka, sedikit berbeda dari saya. Murid-murid merajam Thomas dengan kata-kata yang mencekam, hanya karena Thomas menunda status keberimananya secara verbal.

Reaksi para murid tentunya memboyong sejumlah pertanyaan untuk dijawab. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah, "Apakah murid-murid benar-benar mengenal Yesus?" Jika merujuk ke teks Yohanes, rupanya murid-murid sedikit mengenal Sang Guru ketimbang yang diceritakan dalam Injil Sinoptik. Faktanya, murid-murid hanya diceritakan "merasa ketakutan" pasca kematian Yesus.

Di dalam hatinya, Thomas mungkin sudah mempunyai benih-benih iman. Akan tetapi, ia tak mampu mengungkapnya secara verbal. Menuntut bukti, hemat saya, boleh-boleh saja. Iman, pada dasarnya harus disertai aksi nyata -- setidaknya menyentuh -- bandingkan kisah Maria Magdalena ketika melihat Yesus. Saat itu, Maria hendak menunjukkan keberimanannya pada Yesus yang bangkit dengan menyentuh Yesus. Sayangnya, Yesus menangguhkan keinginan Maria.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun