Ia tak berhenti di pergandaan roti, membangkitkan Lazarus, menyembuhkan orang sakit, dan perjamuan malam bersama para murid. Ia juga tak berhenti di Getsemani, di rumah Pilatus atau di jalan salib menuju Golgota.Â
Pathos Allah itu penuh -- pemberian diri yang total. Ia memberi diri, bukan hanya memberi dukungan atau bantuan materil untuk misi penyelamatan. Allah justru masuk dalam dunia manusia, bahkan mengalami kegelapan dunia orang mati.
Kepedulian dan rasa simpati memang menjadi tantangan kita di zaman sekarang. Ada begitu banyak orang yang justru memintal semangat untuk bersikap apatis, cuek, individualis, dan mati rasa terhadap penderitaan sesama.Â
Ada sikap egosentris dan akusentris yang dibangun, diberi parit, diberi garis polisi, dikerudungi, ditemboki, dan diberi label baik-buruk atau kita-mereka. Sikap-sikap seperti ini justru membunuh rasa kemanusiaan kita. Sikap-sikap demikian justru mengantar seseorang pada upaya perendahan martabat manusia.
Pathos Allah dengan mati di kayu salib sejatinya menciptakan sebuah pembaruan dan daya ubah. Dari ego-sistem manusia, Allah justru memberi sebuah pelajaran agar manusia mampu menghidupi sikap eko-sistem.Â
Daya transformasi ini, pertama-tama dapat dihidupi jika setiap kita mampu merasa, peduli, dan bersimpati. Hal ini tidak datang dari sesuatu yang setengah-setengah.Â
Akan tetapi, pertama-tama datang dari semangat pemberian diri yang total dan pengabdian yang tulus. Allah menunjukkan bagaimana mencintai hingga terluka dan kehilangan nyawa.
Sekali lagi tindakan kasih Allah melalui pengorbanan diri yang total dari Putra-Nya Yesus Kristus tidak pernah sampai pada tahap kepuasan atau jatuh pada kebiasaan. Allah memang sudah sejak dahulu kala mencintai manusia.Â
Ia tak pernah berhenti di kala itu, tetapi menemani hingga ujung perjalanan manusia itu sendiri. Dalam ritme hidup harian, kita kadang terjebak atau ditantang karena kebiasaan.Â
Misalnya, seorang perawat di awal-awal masa tugasnya akan merasa iba, sedih, dan perihatin dengan seorang pasien. Akan tetapi, lama-kelamaan, karena sering berhadapan dengan pasien, bisa jadi rasa iba, sedih, dan prihatin menjadi pudar.
Pada hari Jumad Agung mengenang kematian Yesus Kristus, kita diajak untuk selalu melibat perasaan (pathos) dalam berinteraksi dengan sesama. Sikap pathos ini, juga perlu dibarengi dengan semangat pemberian diri.Â