Pada mulanya, Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi, kala itu belum berbentuk dan kosong. Gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air (Kej 1:1).
Dari gelap gulita dan bumi yang belum ditempati apapun, Allah memulai proyek penciptaan sekali untuk selamanya itu, secara bertahap. Proyek pertama yang Ia lakukan adalah menghadirkan terang. Kehadiran terang memungkinkan kelancaran proses konstruksi bumi dan segala isinya berjalan pasti. Melalui terang, Allah memastikan semuanya baik. Melalui terang, Allah memisahkan yang baik dan buruk.
Kehadiran terang membuka kran proyek besar terkait alam semesta dan segala isinya. Mula-mula cakrawala, lalu air dan daratan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda penerang cakrawala, hingga Ia sendiri mengakhiri proyek mahakuasa ini dengan kehadiran rupa dan gambar-Nya. Atas hasil proyek di hari yang keenam, Allah memberi kuasa dan melimpahkan berkat. Allah melihat semua yang Ia ciptakan baik adanya.
Hari ini, Sabtu, 27 Maret 2021, persis di hari keenam dalam kalender kisah penciptaan, kita sebagai ciptaaan yang diberi kuasa dan berkat khusus dari Allah, diberi kesempatan untuk mengambil jeda sebentar, menundukkan kepala, menyetop lalulintas kesibukan, dan berefleksi. Kita disadarkan, dialihkan, dan diberi waktu khusus untuk sejenak menyimak suara bumi. Kita perlu menyimak, bukan mendengar. Listen, not hear! Sudah sering kita mendengar alam beserta isinya meraung, meronta-ronta, mengerang kesakitan, menjerit minta tolong, menangis, serta mendengar bumi ini mendengkur karena lelah dikeruk. Kita sering mendengar, tapi kita tak pernah melibatkan hati untuk menyimak.
Inilah The Earth Hour: momen menyimak suara bumi. Momen menyimak nasihat dan petuah bumi. Momen menyimak keluh-kesah bumi. Momen menyimak rintihan dan jeritan bumi. Momen menyimak bisikan bumi. Momen mendekapkan dan mendekatkan bumi dalam ingatan. Momen bersilaturahmi dengan bumi. Dan, momen berhenti sekaligus berefleksi! Untuk itu, kita hendak menarik ingatan kita ke kisah awal penciptaan dimana bumi belum berbentuk dan kosong. Di mana bumi gelap gulita. Di mana terang pertama kali diikhtiar menjadi ciptaan pertama. Mari, mengheningkan cipta!
Banjir, tanah longsor, tsunami, kekeringan, dan wabah adalah potret kehilangan keseimbangan bumi. Total penghuni bumi yang mencapai angka 7,7 miliar jiwa, kadang tak menaruh simpati pada bumi sebagai ibu yang merawat kehidupan di sini. Dari total 30 persen daratan yang memijaki bumi, kita sebagai ciptaan yang diberi kuasa dan diberkati Sang Pencipta, tak merasa bertanggung jawab. Semua digarap. Semua dibabat. Semua dikeruk. Semua digali dan diambil isinya. Semua ditangkap, semua diburu, semua dimakan. Semua dibom, distrum, dipotong, dan ditembak mati. Kita kadang berlaku seperti makhluk yang paling asing dari semua ciptaan yang pernah ada. Kita kadang lupa bahwa kita adalah sesama ciptaan yang selalu dikhtiarkan baik oleh Sang Pencipta. Kita lupa bahwa Allah selalu menabuh refren yang sama usai melakukan proyek penciptaan: "Semuanya itu baik!"
Sebagai sesama ciptaaan, hal baik apa yang sudah saya buat untuk sesama ciptaan? Sudahkah saya menjadi partner Allah dalam merawat segala yang diciptakan? Apakah saya sudah bersikap baik terhadap bumi sebagai ibu yang mengandung, melahirkan, merawat, membesarkan, dan tak henti-hentinya menyuplai kebutuhan saya setiap hari?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H