Hasil sidang sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) mengharuskan beberapa lahan kompetisi demokrasi melakukan pemungutan suara ulang (PSU).
Saat ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mulai mempersiapkan segala dinamika dan skema PSU. Menurut putusan palu MK, ada 15 daerah yang akan menggelar PSU.
Soal PSU, tentu memberi pelajaran berharga bagi sistem pemilihan umum ke depan. Banyaknya polemik terkait hasil selisih suara yang "mengganggu" keberhasilan pasangan tertentu dalam kontestasi pilkada merupakan catatan penting bagi dinamika kerja tim penyelenggara pemilu di negara ini.
Jika pengawasan dilakukan secara ketat, polemik selisih suara mungkin akan bisa dihindari secara dini.
Kembali lagi ke pemilu. Pemilu, bagi saya saya tak jauh dari kuasa. Watak bawaan untuk berkuasa memang menggedor ambisi seseorang untuk tak berhenti di nyali.
Bayangkan, jumlah duit yang dikeluarkan untuk proyek pemilu memang sangat besar. Ketika ada celah -- katakanlah selisih persentasi jumlah suara yang sedikit membuka peluang untuk digugat -- seorang calon akan berusaha membuat tali banding, agar perjuangan selama masa kampanye tak dirasa sia-sia.
Kuasa dan uang, jika ditelisik lebih dalam adalah dua instrumen penting yang dimainkan dalam proyek pilkada. Uang dipakai untuk melicinkan jalan menuju tampuk kekuasaan. Tanpa uang, segala ritual menuju kursi kekuasaan tampak tak berjalan mulus.
Maka, antara kekuasaan dan uang, industri ambisi dipanaskan. Menariknya, uang tidak pernah berhenti di level 'hampir.'
Jika seorang pasangan calon sudah bergulat dengan begitu banyak cara dan jumlah dana yang dikeluarkan, kamudian dinyatakan 'hampir' menginjak tangga kekuasaan, hal ini tidak lain adalah cacat. Tepatnya, cacat mempergunakan uang untuk kekuasaan.
Hemat saya, upaya untuk menggotong hasil pilkada ke MK adalah konsekuensi dari pencapaian yang 'hampir.' Dalam artian tertentu, 'hampir' bukan-lah sebuah pencapaian jika disejajarkan dengan jumlah duit dan perjuangan yang sudah dilakukan.
Kata 'hampir' hanya akan mengurangi sedikit rasa tidak puas dan memberi semacam "hiburan tentatif" bagi pasangan calon yang tak mencapai kursi kekuasaan.
Perjuangan untuk membuktikan ambisi kemudian tak berhenti di poin "menerima kekalahan" dengan lapang. Ketika ambisi yang menggebu-gebu dari awal masa pencalonan dibredel oleh selisih suara yang mencurigakan, strategi lain pun diupayakan.
Di sana, uang kembali dihambur. Untuk mencapai kursi ruang sidang dan mencari ketetapan yang adil, uang lagi-lagi dipakai sebagai infrastruktur. Dalam hal ini, uang, kekuasaan, dan ambisi berjalan beriringan.
Pada momen PSU nanti, ada kemungkinan besar kecurangan bisa kembali terjadi. Kekuatan di balik itu, tidak lain adalah kompensasi dari suara konstituen yang menjadi angka taruhan.
Jika PSU dilaksanakan tanpa pengawasan yang ketat, bukan tidak mungkin kecurangan yang lebih masif dan terstruktur akan dibawa-serta.
Setiap suara, dalam hal ini, adalah harapan bagi pasangan calon yang bertikai. Jika, pengawasannya ketat, saya percaya, vox populi vox Dei hadir dalam peristiwa semacam ini.
Tentunya, kita tak hanya menjadi penonton bungkam dari ritual PSU di 15 daerah nanti. Pengawasan yang akurat, hemat saya, mampu mencegah rusaknya kualitas suara dari setiap konstituen. Ruang gerak pemilihan dan dinamika PSU tentunya cukup mudah untuk diberi pengawasan ekstra.
Untuk itu, kita berharap, PSU untuk menemukan keadilan dan potret pemimpin yang merakyat, bisa dilakukan secara transparan, jujur, dan demokratis melalui mekanisme pengawasan yang ketat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI