Hukum dan politik adalah dua entitas yang berbeda jenis kelamin, tetapi berada dalam satu baskom yang sama bernama state. Hukum adalah produk politik, dan setiap institusi politik, ekonomi maupun sosial yang lain, harus tunduk pada hukum.Â
Setiap hukum mau dibuat seperti UU, maka kekuasaan politik harus memiliki komitmen untuk menyusun hukum secara demokratis berdasarkan syarat-syarat formal substansial sebagaimana yang dikehendaki oleh negara demokrasi.Â
Partisipasi politik dalam pembuatan hukum oleh institusi politik merupakan salah satu prasyarat vital bagi pembangunan hukum yang berpihak pada rakyat. Karena produk penguasa, hukum kadang loyo atau tak berstamina ketika berhadapan dengan mereka (para penguasa).
Ekstremnya bahwa, "Karena hukum adalah produk politik, maka hukum harus tunduk pada atasannya". Seringkali hukum menjadi sarana kepentingan dan kepentingan on behalf of supermasi hukum. Karakter produk hukum ditentukan oleh konfigurasi politik.Â
Jelas politik dan hukum adalah dua domain yang berbeda, dua entitas yang tidak sama -- tidak saja dari sisi obyek studinya tetapi juga dari subyek yang menjalankannya. Posisi subyek dan obyek ini, melahirkan anomali-anomali, baik dari sudut pandang politik maupun hukum. Namun, ada satu titik temu yang cukup penting untuk mengurai distingsi antarhukum dan politik, bahwa mereka ada dalam suatu kampium yang bernama negara.
Sarifuddin Sudding adalah seorang politisi yang memiliki latar kehidupan sebagai lawyer. Ia juga merupakan anggota MPR/DPR RI periode 2009-2014. Kesadaran hukum ditambah kepekaan politiknya telah memberikan dia modal yang cukup untuk secara konsisten melakukan pembelaan terhadap kepentingan rakyat, bangsa dan negara.Â
Sudding menyulam gagasannya dalam sebuah mega karya "Perselingkuhan Politik & Hukum dalam Negara Demokrasi". Sudding mampu menunjukkan lekuk-lekuk kekuasaan yang cenderung menerapkan depotisme minimal, memandang hukum sebagai the other bagi dirinya -- sebagai politisi yang sedang bersinar di atas orbit kekuasaan.
Ia memilih sebagai 'orang lain' dari apa yang sedang ia alami. Bagi Sudding, hantu positivisme telah memenjarakan rasionalitas individu dan positivisme telah menjadi kendaraan mematikan untuk membunuh nalar. Dari Perselingkuhan Hukum & Politik menuju Pembentukkan Hukum oleh Lembaga Politik, akan diuraikan tentang bagian 'menggairahkan' dan 'seksis' dari mega karya ini -- dengan harapan menambah 'nafsu' pembaca untuk menyisir lembar demi lembar karya ini.
Pertama, "Selingkuh Hukum & Politik: Banalitas Kuasa, Absurditas Nilai & Relasi yang Timpang". Gagasan ini menyodorkan problem selingkuh (hal. 14-15). Di sini diuraikan hubungan 'binal' antarhukum & politik.Â
Hukum dipecundangi kekuasaan dan "digerayangi" politik. Di sisi lain hukum harus berdiri sejajar dengan kekuasaan, jika tidak hukum akan seperti 'macan ompong'. Pada bagian prolog ini, Sudding membangun distingsi antara dirinya dan kekuasaan serta relasi kekuasaan yang sedang ia jalani.
Kedua, "Penegakan Hukum di Negara Demokrasi". Tema ini berusaha mengajak penghuni negara untuk tetap percaya pada demokrasi sebagai sistem yang akan menghormati hukum (hal. 59). Di sini politisi harus menjadi "tabib" hukum di lembaga politik, yakni berusaha membunuh kerakusan individualitasnya.Â