Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

UU ITE dan Diksi yang Emosional

23 Maret 2021   20:40 Diperbarui: 23 Maret 2021   20:44 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aksi saling lapor yang diupayakan masing-masing individu merupakan salah satu indikator pengungkungan proses berkembangnya demokrasi. Belakangan ini, aksi saling lapor terkait berbagai masalah di media sosial marak terjadi. Boleh jadi, ada semacam upaya membatasi kebebasan seseorang untuk mengutarakan pendapat. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, ketakutan terbesar adalah memudarnya nilai-nilai demokrasi.

Di media sosial, semua orang tentunya diberi kebebasan yang cukup luas untuk berpendapat. Poin penting dari semangat berpendapat di media sosial, tidak lain merupakan tanda bahwa daya kritis seseorang sebagai warga negara dan sebagai individu yang bebas, mendapat tempat. 

Di media sosial, tak ada sekat yang membatasi. Jika ada yang memberi sekat, hemat saya, hal itu hanya sebatas kualitas emosional yang sejatinya tak mampu dikelola secara sehat.

Ketika berpendapat, biasanya pertanggungjawaban menanti di bilik beranda. Saya mengkritik si A, berarti saya siap dikritik balik oleh si A. Hal ini wajar dalam hidup bersama. 

Jika dalam kehidupan nyata (empat mata), hal ini (kritik) agak canggung untuk diutarakan -- mengingat kemungkinan reaksi di luar nalar yang cenderung kebabalasan -- sebaliknya di ruang maya, semua jenis rasa canggung ini hilang seketika. 

Apa yang dimaksudkan dengan reaksi di luar nalar? Reaksi di luar nalar biasanya muncul dalam bentuk kekerasan fisik. Jika mekanisme ini muncul, secara akademis orang tersebut belum matang dalam mengelola konsep berpikir.

Dalam konteks Indonesia, semangat mengkritik masih sangat dikedepankan. Dengan kehadiran teknologi dan pil serbaguna media sosial, semua orang berlomba-lomba mengutarakan pendapat. 

Ada yang menarik sebetulnya dari konteks mengkritik melalui media sosial. Saya melihat poin yang menarik tersebut adalah soal keberanian. Tanpa menjumlah gelar, status, dan latar belakang krusial lainnya, siapa saja boleh mengritik siapa dan apa saja. Indikator yang dipakai tentunya bukan soal suka atau tidak suka, melainkan bagaimana menemukan kebenaran atau indikator benar atau salah.

Nah, persoalannya adalah kenapa orang justru memilih untuk melapor ketika ada yang mengkritik? Jawaban yang pertama adalah soal kerendahan hati (legowo). 

Umumnya, ada kelompok masyarakat yang tidak mau dikritik. Tipe-tipe masyarakat ini biasanya langsung memberi reaksi negatif ketika dikritik. Mereka merasa diri mereka selalu benar dan perlu dininggratkan dari zaman ke zaman. Ketika dikritik, ada semacam persepsi dalam diri kelompok ini soal status.

Alasan lain tidak mau dikritik adalah soal siapa yang mengkritik. Alasan ini memang kelihatan mudah. Akan tetapi, jika didalami, banyak pengalaman dimana orang berusaha menolak kritikan dengan mekanisme lapor karena pribadi seseorang: siapa dia. Pembagian kelas sosial, dengan demikian ikut memengaruhi kekuatan gagasan dan efek yang dihadirkan usai melakukan kegiatan kritik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun