Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Keadilan, MK, dan Permohonan Sengketa Pilkada

19 Maret 2021   20:36 Diperbarui: 19 Maret 2021   20:44 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejumlah permohonan terkait sengketa Pilkada ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Alasan-alasan terkait penolakan sangat beragam -- mulai dari kurang cukupnya bukti hingga status kedudukan hukum pemohon terkait ambang batas dan selisih suara dijabarkan di ruang sidang.

Lazimnya, setelah Pilkada, terbitlah sengketa. Urusannya pun terbilang cukup ribet, ruwet, lelet, dan rewel. Hemat saya, bermain kartu tandingan saat pesta demokrasi memang selalu berujung ketidakpuasan bagi salah satu pasangan. Hal ini memang biasa, dan bahkan seringkali terjadi usai pesta demokrasi berlangsung. Mau Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Gubernur (Pilgub), atau pun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), semuanya mengantongi masalah. Kenapa sampai terbit sengketa pasca pemilu?

Hemat saya, alasan ketidakpuasan merupakan watak tersembunyi yang bisa dibaca dari seluruh polemik sengketa. Bayangkan, selama masa kampanye hingga waktu hari H pemilihan, setiap pasangan calon (paslon) sudah mengeluarkan biaya miliaran rupiah untuk proses marketing. Prospeknya, tentu tak lain, yakni memengaruhi dan mendulang suara konstituen. Apesnya, jika niat dan ambisi ini dibalas dengan berita kekalahan, siapa yang mau menerimanya dengan lapang dada? Adakah yang mau mengakui atau mengikhlaskan kemenangan pihak tertentu? Pertanyaan ini, sejatinya tak mudah dijawab.

Untuk memenuhi ambisi yang belum selesai, pengajuan permohonan terkait hasil kompetisi pun dirancang. Skema permohonan digagas lalu dikelola dengan label "sengketa Pilkada." Padahal, jika ditelusuri secara kritis -- katakanlah merujuk ke fakta penolakan sejumlah permohonan sengketa Pilkada 2020 kemarin -- ada begitu banyak konten permohonan yang tak bisa dipertanggungjawabkan dengan jelas. Bukti-bukti terkait alasan kenapa digugat justru malah dengan mudah dipatahkan di ruang sidang. Hal-hal demikian, tentunya memberi sebuah gambaran bahwa memang unsur ketidakpuasan merupakan watak dominan yang boleh jadi merupakan komponen dasar sebuah usaha gugatan dilayangkan ke MK.

Dalam banyak fakta proses penyelesaian sengketa Pilkada atau jenis pemilihan umum (Pemilu) yang lain, bukti-bukti yang kuat menjadi kekuatan dasar bagi seorang hakim untuk menentukan putusan. Seorang hakim, dalam hal ini, akan bekerja keras untuk menganalisis, mengevaluasi, sekaligus membuat rekomendasi secepatnya terkait polemik yang ada. Jika tak jeli, bisa saja seorang hakim akan ditarik arus ketidakpuasan salah satu pasangan. Dan, hal ini tentunya berbahaya dalam konteks penegakan keadilan.

Sebelum mengambil sebuah kebijakan baik menerima atau menolak permohonan pihak yang menggugat, hakim pertama-tama akan memberikan perhatian khusus pada alasan kenapa pihak penggugat melayangkan gugatan. Perhatian khusus ini, tidak lain adalah proses pembacaan yang saksama atas setiap dokumen permohonan. Dalam proses pembacaan teks permohonan, daya kritis untuk menguji akurasi isi teks dan interpretasi pra-aksi perlu dikelola secara mendalam. Ketika interpretasi bermain, pada saat itu pula proses penemuan keadilan tengah berlangsung.

Interpretasi teks dan analisis via interogasi kekuatan alasan dan bukti permohonan adalah pekerjaan yang lumayan memangkas tenaga, waktu, dan nurani. Ketika konsolidasi dinamika kegiatan ini dicegat dengan aneka tawaran, dengan mudah para penegak hukum dan keadilan akan terpengaruh. Momen krusial penetapan keputusan, hemat saya merupakan saat dimana keadilan ditemukan. Dalam momen di antara hukum dan keadilan itulah, seorang hakim akan bergulat dengan nuraninya.

Situasi-situasi demikian, bagi saya menjadi bahan pertimbangan bagi hakim untuk meneruskan proses penyelesaian sengketa atau malah memilih untuk menolaknya. Selain pertimbangan bukti yang melek, tantangan terkait kekhususan tiap polemik menjadi alogaritma dimana keadilan diperlihatkan. Menolak permohonan adalah jenis keadilan yang ditemukan di antara ambisi, usaha, dan sifat unpredictable dari keadilan itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun