Cara manusia menerapkan hukum berbeda dengan cara kerja mesin yang berjalan otomatis. Mesin bekerja melalui program tertentu. Keputusan yang diambil dengan bantuan mesin adalah keputusan yang terprogram. Hukum diterjemahkan oleh seorang hakim, sedangkan mesin hanya mengikuti kode-kode tetap yang dikenakan padanya.
Di tangan seorang hakim, hukum bukanlah alat untuk membenarkan putusan, melainkan sebagai petunjuk menuju sebuah keputusan yang adil. Dalam hal ini, seorang hakim dituntut untuk berani mengambil sebuah keputusan bukan atas kalkulasi pasal-pasal semata, tetapi atas dasar pertimbangan-pertimbangan manusiawi lainnya.
Tugas seorang hakim pada dasarnya mengadili bukan menghukum. Seorang hakim bukanlah control-panel dari pasal-pasal yang tercantum dalam undang-undang. Di hadapan teks undang-undang, seorang hakim perlu melakukan interpretasi teks, karena aturan tertulis hanyalah petunjuk bagi hakim dalam memutuskan sebuah perkara -- bukan satu-satunya dasar validitas adil-tidaknya sebuah keputusan.
 "The law as such can be deconstructed and has to be deconstructed. That is the condition of historicity, revolution, morals, ethics and progress. But justice is not the law. Justice is what gives us the impulse, the drive, or the movement to improve the law, that is, to deconstruct the law. Without a call for justice we would not have any interest in deconstructing the law," John D Caputo, Deconstruction in a Nutshell, 125.
"Hukum setidaknya dapat didekonstruksi dan harus didekonstruksi. Inilah kondisi historisitas, revolusi, moral, etik dan kemajuan. Akan tetapi, keadilan bukanlah hukum. Keadilan adalah apa yang memberikan kita dorongan, usaha, dan kemajuan untuk memperbaiki hukum. Atau dengan kata lain, mendekonstruksi hukum. Tanpa panggilan menuju keadilan, kita tidak akan memiliki ketertarikan untuk mendekonstruksi hukum."
Realitas hukum yang dapat didekonstruksi menunjukkan bahwa hukum bukanlah huruf mati. Suatu peraturan yang tengah disahkan dan pada perjalanan waktu tidak sesuai dengan tuntutan keadilan, maka peraturan itu wajib diperbarui, dirombak, dan disusun ulang. Masyarakat seharusnya tidak menaati aturan hukum yang jelas-jelas melawan keadilan dan kebaikan bersama. Maka, prospeknya adalah hukum seharusnya kata kerja yang selalu mengalir dan aktif mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Istilah hukum kata kerja adalah istilah yang dipakai oleh Norbertus Jegalus dalam menjelaskan karakter hukum yang selalu mengalir (pantha rei). Hukum itu, menurutnya, selalu aktif, terbuka dan responsif terhadap perubahan masyarakat. Hukum kata kerja adalah hukum yang aktif, kreatif, yang selalu berubah mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Lawannya adalah hukum kata benda, yaitu hukum sejauh ditetapkan sebagai hukum, selama belum dibatalkan menurut aturan hukum, hukum itu berlaku dan wajib ditaati, meski isinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan bahkan bertentangan dengan kewajaran hidup manusia (Norbertus Jegalus, 2011:5).
Dalam catatan sejarah, sejatinya ada begitu banyak peraturan yang seringkali digunakan untuk memanipulasi. Misalnya, slogan Blut und Boden (darah dan tanah) dari Nazi di Jerman. Menurut Andrew J Krzesinksi dalam tulisannya berjudul Religion of Nazi Germany (1945), slogan ini, ternyata disusun untuk melegalkan pembantaian enam juta warga Yahudi di Jerman. Semboyan ini hanyalah suatu cara untuk mengubah makna tindakan yang tidak adil agar dapat dipandang adil. Itulah sebuah legislasi kejahatan.
Dengan menerapkan semboyan, Blut und Boden, tentara Nazi justru dicover oleh negara dalam hal pembenaran tindakan kejahatan genosida yang menelan jutaan warga Yahudi. Untuk itu, hukum seharusnya diperbarui sesuai dengan perkembangan zaman. Jika aturan hukum tidak lagi menjamin rasa keadilan dan kebaikan bersama, maka hukum itu harus diperbarui atau diganti.Â
Hukum harus menjadi bagian dari hidup manusia. Hal ini adalah konsekuensi logis dari eksistensi hukum yang lahir dari hakikat manusia dan dipergunakan untuk memanusiakan dirinya dalam hidup bersama. Karena manusia itu dinamis, berubah, dan berkembang, maka hukum juga bersifat dinamis dan berubah.
Ciri dinamis hukum menunjukkan bahwa hukum bukanlah huruf mati atau kata benda yang dipakai oleh seorang hakim. Hukum sebagai kata benda memperlihatkan kekakuan penerapan hukum. Dalam penerapan yang kaku dan terprogram, keadilan pun direduksi hanya ke dalam hukum. Padahal keadilan melampaui hukum. Keadilan adalah sebuah gerakan yang terus mencari sebuah bentuk yang diinginkan bersama. Oleh karena itu, hukum harus bergerak -- menemukan keadilan -- dalam ketidaktetapan atau kedinamisan hidup manusia.