Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jean-Paul Sartre, Kebebasan, dan Eksistensi

9 Maret 2021   10:10 Diperbarui: 9 Maret 2021   10:40 2014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada bagian dasar dari relasi antara pemikiran dan dunia, Jean-Paul Sartre membangun teorinya tentang kebebasan individu dan teori-teori terkait, yaitu tentang Bad Faith dan tentang "Melihat." Dalam pemahamannya, Sartre menilai bahwa tindakan-tindakan yang ditampilkan oleh seseorang memang dipengaruhi oleh caranya memandang dunia. Akan tetapi, Sartre juga menilai bahwa ketika hal itu tergantung dari tujuan dan keinginannya, kita tidak dapat menyebut seorang individu berada di dunia ini secara Ada untuk dirinya sendiri (entre-pour-soi). 

Sebagai contoh, alasan saya merapihkan kamar, bukanlah karena kertas-kertas dan buku-buku yang berhamburan di lantai, tetapi karena kamar tampak tidak rapih dan hal tersebut membuat saya merasa tidak nyaman -- karena kenyamanan adalah sesuatu yang saya usahakan dalam hidup. Karya filosofis pertama -- l' tre et le Nant (1843) -- merupakan sebuah buku yang mengulas kehidupan riil manusia. Menurut Sartre, manusia menidak dan ditidak oleh tatapan atau pandangan; dimana begitu ia dilototi, ia membeku sebagai objek, kehilangan kebebasannya, dan dengan demikian ia ditidak. Manusia itu-lah sosok yang menghadapi dunia dan bahkan dirinya sendiri sebagai l' autre atau yang lain. Dan karena itu, manusia adalah satu-satunya makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya: esensi, hakekat seseorang adalah ciptaannya sendiri. Oleh karena itu, manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Sartre juga menolak pandangan tentang kodrat manusia. Menurutnya, dengan kodrat, segala hal akan bergantung penuh pada Tuhan -- dari sono-nya diciptakan oleh Tuhan. Jika demikian -- menurut Sartre -- sejak semula dalam diri Tuhan sudah terdapat semacam rencana dimana esensi benda-benda ciptaan dan juga esensi manusia telah ditentukan. Dengan demikian, manusia tidak dapat berubah mencapai taraf yang lebih tinggi daripada yang ditentukan oleh Tuhan melalui kodratnya. Menurut pandangan ini, esensi mendahului eksistensi -- dimana eksistensi hanya boleh dianggap sebagai perkembangan dan pegkhususan dari esensi itu.

Jika sekiranya terdapat kodrat manusiawi, maka kodrat itu akan menentukan manusia, dan akibatnya manusia tidak lain daripada hasil perkembangan yang secara substansial sudah ada sebelumnya. Manusia tidak akan jauh berbeda dengan pohon dan benda mati. Ilustrasi Sartre dibahasakan dalam sebuah aset kebudayaan Jawa, yakni wayang. Manusia tidak lain adalah wayang yang berpegang penuh pada dalangnya, yakni Tuhan. Dalang berkuasa penuh pada ruang gerak manusia yang memiliki kesadaran -- ciri yang membedakan manusia dengan benda-benda (tre-en-soi). Seakan-akan manusia tidak akan menggerakkan tangan tanpa bantuan dalang, yakni Tuhan (Frans Magnis-Suseno, 2006:96).

Eksistensi Mendahului Esensi

Potret mengenai kodrat manusia yang ditentukan oleh pencipta-Nya, mengilustrasikan keadaan manusia yang terkungkung dalam ruang cara berpikirnya sendiri. Karena kodratnya, manusia enggan untuk mencapai suatu tahap yang lebih kreatif. Kreativitas manusia dipasung hanya karena adanya Allah. Hal ini mau menunjukkan bahwa esensi mendahului eksistensi. Akan tetapi, cara berpikir seperti ini -- menurut Sartre -- adalah terbalik.

Menurutnya, "Bukan esensi yang mendahului eksistensi, melainkan eksistensilah yang mendahului esensi." Maksud "Eksistensi mendahului esensi" bahwa manusia sejatinya terlebih dahulu bereksistensi, berjumpa, berpikir, berkiprah di dunia dan baru sesudah itu ia dapat mendefinisikan dirinya. Secara praktis ini berarti bahwa manusia harus lebih dahulu merealisasikan diri dan segenap kekuatan yang ada pada dirinya, menjadi 'eksis' dan menegasi terus-menerus keadaannya kini. Dari situlah, manusia menemukan dirinya yang sesungguhnya -- esensinya. Kemampuan hakiki dalam perealisasian diri dan penegasan terus-menerus keadaan hic et nunc adalah kebebasan. Jadi, baik eksistensi maupun esensi dalam pandangan Sartre ditentukan dari pelaksanaan kebebasan; dan, sifat kebebasan ini adalah radikal, absolut dan total.

Keabsolutan sifat kebebasan -- menurut Sartre -- mempunyai implikasi terhadap masalah penerimaan Tuhan. Dengan kebebasan radikal dan total, manusia tidak akan berhasil merealisasikan dirinya secara sungguh-sungguh, apabila Tuhan ada. Jika Tuhan ada, maka manusia merupakan makhluk ciptaan yang sudah dicetak sebelumnya oleh-Nya. Manusia menjadi tidak bebas, dalam arti ia tidak dapat secara total dan penuh kedaulatan, menentukan dirinya.

Seandainya, terdapat Tuhan yang mahatahu dan mahakuasa, maka saya akan menjadi obyek ciptaan dengan kodrat tertentu -- hal di mana berarti bahwa siapa saya ini sudah ditentukan satu kali untuk selamanya. Jika Tuhan ada, kebebasan dicabut dari eksistensi saya. Keyakinan termasyhur dari tokoh Ivan dalam Novel "The Brothers Karamazov", karya Dostoyewski -- Kalau tidak ada Allah, semuanya boleh -- dirumuskan secara tegas dalam doktrin ateisme Sartre, "Karena manusia bebas, maka Allah tidak boleh ada!". Inilah titik tolak eksistensialisme,.....tidak ada Allah, tidak ada penentuan sebelumnya, manusia bebas, manusia adalah kebebasan (Frans Magnis-Suseno, 2006).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun