Kebersamaan pada hakekatnya memberi makna pada relasi dalam societas. Dalam kebersamaan seharusnya dicegah prinsip yang menafikan kehadiran orang lain, di antaranya prinsip mayoritas-minoritas.Â
Prinsip yang ultim ini, pada dasarnya lahir dari sebuah perkembangan peradaban yang mengedepankan prinsip demokrasi-utilitarian. Mayoritas-minoritas merupakan prinsip reduksif plus diskriminatif, apalagi jika dihidupi dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi.
Di Indonesia kebersamaan yang begitu kaya direduksi dalam angka, jumlah golongan, ras, suku, dan agama. Akibatnya, terjadi simplifikasi nilai kehadiran. Yang minoritas tidak atau merasa kurang berperan, karena tertindas atau mudah dilindas. Sementara yang mayoritas mendominasi - melindungi atau menindas (Armada Ryanto, 2011). Dengan demikian, demokrasi kadang meredup!
Pertanyaan untuk kita sekarang sejatinya demikian: "Sebetulnya apa yang tersisa dari agama?" Pertanyaan ini merupakan hasil refleksi dari pergulatan peran eksistensi agama dalam sebuah negara.Â
Ketidakadilan dan kekerasan adalah dua hal yang lahir dari agama, menilik historisitas lahir dan berkembangnya agama. Unsur agamis sering menelurkan duo paradoks di mayoritas versus minoritas, yang pada kenyataannya bertolak belakang dengan tujuan dan visi-misi agama, yakni mengedepankan perdamaian, keadilan, kesamarataan, transparansi, dan integritas.Â
Catatan ini cukup singkat. Saya hanya mencoba untuk mendalami keberlangsungan stamina bangsa ini  dengan melempar pertanyaan di atas tadi, yakni soal apa sebetulnya yang tersisa dari agama.Â
Apakah yang tersisa dari agama adalah keyakinannya pada tokoh agama? Apakah yang tersisa dari agama hanya tokoh agama itu sendiri? Apakah yang tersisa dari agama hanya aksesoris ritualis?
Saya merasa, bangsa ini butuh campur tangan semua warga negara untuk tidak habis-habisnya memberikan dukungan kepada siapa saja yang berjuang melawan diskriminasi yang dibungkus unsur agama.Â
Distingsi dalam instansi besar yang bernama negara, hanya dapat dipersatukan oleh ikatan persahabatan, keadilan dan toleransi. Persatuan Indonesia adalah persatuan yang menembus batas apa saja termasuk agama.
Sebagai warga negara Indonesia, kita semua adalah sama (we are one). Agama bukan pemisah, tetapi penyatu. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ilustrasi kesatuan bangsa bukan ketuhanan atas mayoritas atau golongan tertentu.Â
Orang-orang baik di negeri ini tentunya banyak. Stok mereka yang baik selalu ada. Namun, selalu ada pertanyaannya adakah kita meminati orang-orang baik ini untuk kemajuan sebuah bangsa?
Sebagai bangsa yang bersatu, kita tidak boleh berhenti untuk menyuplai orang-orang yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, meleburkan mayoritas-minoritas, dan bahu-membahu membangun negara Indonesia.Â
Demokrasi hanya bisa dipraksiskan, jika ada keadilan dan kesamarataan dalam bernegara. Demokrasi Indonesia tidak boleh dipariti. Apalah arti sebuah demokrasi, jika dipariti sistem kewenangan tertentu, seperti atribut agamis?
Pancasila, sejatinya telah menyatukan semua perbedaan bangsa ini dalam wadah yang sama: Indonesia. Jika ada yang mau merobohkan Pancasila hanya karena keegoisan intelektual atau kebutuhan politis semata, tugas kita sebagai sesama saudara sebangsa adalah menyadarkan.Â
Ingat, nila setetes bisa rusak susu sebelanga. Ulah salah seorang saudara dalam rumah bersama Indonesia akan merusak ekonomi keselamatan dan kedamaian bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H