Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Demokrasi dari Elite, oleh Elite, dan untuk Elite

18 Februari 2021   04:35 Diperbarui: 18 Februari 2021   04:53 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demokrasi dimana kompetisi terjadi oleh elite.Foto: nasional.kompas.com.

Dari penjelasan term demokrasi demos dan kratein, pada dasarnya demokrasi selalu berhubungan dengan rakyat. Dalam karya klasik Yunani yang berjudul Polis, di situ dijelaskan bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dimana masyarakat miskin bisa menggunakan kekuasaannya untuk membela kepentingan mereka terhadap yang kaya. 

Dari sinilah latar belakang munculnya demokrasi, yakni adanya kesenjangan. Demokrasi sebetulnya lahir untuk menjembatani antara yang kaya dan miskin agar tidak tercipta gap di antara keduanya (dalam pengertian Yunani: Polis).

Demokrasi tentunya merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dari, oleh, dan untuk rakyat. Ini berarti demokrasi itu milik rakyat (semua warga negara tanpa pemisah -- bukan milik golongan tertentu). Rakyatlah yang berkuasa atas dirinya sendiri.

Ketika berhadapan dengan pemilu yang demokratis, yang menjadi pelaku utama di sini adalah rakyat sang penghuni polis. Dengan kata lain, pesta demokrasi itu milik rakyat, sehingga kebebasan memilih adalah previlige rakyat (tanpa adanya paksaan). Segala emblem yang berusaha memutar haluan rakyat untuk memilih adalah ciri sistem rupiahkrasi.

Dari pesta demokrasi yang sudah dilakukan hingga pemilu 2019 kemarin, idealnya menggambarkan praktik demokrasi yang salah -- yang seharusnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat -- malah menjadi dari elite, oleh elite, dan untuk elite.

Pelaku demokrasi tiba-tiba digenggam kaum elite. Segala unsur yang menyokong pesta demokrasi ditelan habis oleh kaum elite. Pesta demokrasi berubah menjadi pesta para penjudi kelas konglomerat. Perjudian abad ini yang ditunggangi oleh elite-elite yang lapar dan haus akan kekuasaan.

Suara rakyat dicaplok, dihargai Rp 200.000 per orang atau kepala keluarga, maka demokrasi -- semulanya milik rakyat -- otomatis bergerak ke tangan para tunaetik yang minim tanggung jawab. Ironisnya, meminjam Thomas Hobbes, para politikus bahkan berusaha memangsa sahabatnya sendiri -- politikus menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). "Tidak ada etiknya lagi", kata Nurul Arifin politisi Partai Golongan Karya yang terpental dari kursi Senayan (Kompas, 10 Mei 2014).

Politik uang menunggu momen penting untuk menyalip di tikungan terakhir. Muncul perdebatan baru di kalangan DPR mengenai peratifikasian UU Pemilihan Kepala Daerah yang semulanya dilakukan secara langsung (oleh rakyat) dan kemudian menjadi tidak langsung (oleh DPRD). Hak rakyat untuk memilih tidak lagi dikedepankan.

Demokrasi Akar Tindakan Korupsi

Korupsi di rumah sendiri (Indonesia) sudah bukan representasi realitas buruk secara moral melainkan seolah wajar. Simaklah bagaimana sekian konglomerat yang menjadi pemegang debitor kredit macet telah dibebaskan dari tuntutan hukum.

Di Indonesia rupanya berlaku prinsip demikian: 'Jika mencuri, curilah uang sebanyak-banyaknya (jangan hanya beberapa juta melainkan miliaran atau trilliunan rupiah), maka kamu tidak akan disebut pencuri melainkan pahlawan'. Setelah menjadi pejabat teriaklah, "Anti korupsi!", maka Anda akan meneguk pujian selangit (Armada Riyanto, 2011).

Demokrasi pada dasarnya bukan bertujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya sebuah cara rakyat untuk hidup adil sejahtera dengan jalan bernegara. Oleh karena itu, demokrasi tidak hanya oleh rakyat, tetapi juga untuk kebaikan rakyat.

Ukuran sukses demokrasi bukanlah massa demokrasi berada di bilik suara selama lima menit, melainkan kualitas elite demokrasi yang berperan sebagai wakil rakyat. Dalam trias politika, tiada demokrasi tanpa legislatif.

Namun, kenyataannya demokrasi sering disusupi para penumpang gelap. Selepas dari belenggu otoritianisme rezim Suharto, rakyat sempat mengalami euforia demokrasi. Namun, euforia demokrasi berubah seketika menjadi sebuah elegi dan eulogi -- mendengar dan menyaksikan praktik-praktik buruk yang berkembang pesat di kalangan pemangku jabatan (Yonky Karman, Kompas 18 April 2014).

Korupsi, mafia, pencucian uang, serta aneka atribut lainnya datang menghiasi wajah negeri ini. Istilah-istilah, seperti pencucian uang dan mafia muncul seperti sebuah kata serapan yang kelak menjadi istilah keren bagi para elite di kemudian hari.

Hemat saya, tindakan koruptif yang sudah menjamur di negeri ini, muncul dari istilah perjudian modern yang bernama demokrasi. Kita ingat bahwa politik uang (money politic) dipakai sebagai salah satu cara mendulang suara saat pesta demokrasi berlangsung.

Sebelum duduk di kursi pemimpin, agaknya para pemangku kepentingan ini sudah terlebih dahulu (terbiasa) belajar untuk calo suara, menipu, merekayasa, menjiplak sebagai cara-cara modern mencapai tampuk kekuasaan.

Membeli suara rakyat dengan sistem piutang -- setelah terpilih utang-utang dilunasin. Praktik seperti ini tentunya akan terbawa hingga seorang politisi duduk di kursi jabatan. Lebih buruknya lagi cara-cara serta tujuan yang dicapai pun akan bertambah buruk pula. Demokrasi adalah akar tindakan koruptif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun