Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kritik itu Alat Uji Kematangan Demokrasi

17 Februari 2021   07:15 Diperbarui: 17 Februari 2021   07:21 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden RI Joko Widodo. Foto: kompas.com.

Kritik itu, tidak hanya soal motivasi dan tujuan. Lebih dari itu, caranya juga harus santun. 

Pemerintahan yang diktator adalah sebuah bentuk pemerintahan yang lahir dari konsep egosistem. Karakter egosistem muncul dalam simptom-simptom ihkwal, yakni menolak kritikan, mau menang sendiri, dan menutup akses dialog. 

Jika karakter-karakter demikian dilestarikan dalam sebuah sistem pemerintahan, pelan-pelan karakter kebhinekaan dan kesatuan akan gembos dan jatuh pada diktatorisme.

Pernyataan Ketua DPW Partai Nasional Demokrasi (Nasdem) sekaligus anggota Komisi VI DPR RI Subardi adalah bentuk keterbukaan pemerintah dalam mengelola negara. Menurut Subardi, kritik bukanlah sebuah persoalan atau sesuatu yang perlu ditakuti dalam hidup bernegara.

 "Tidak ada yang salah dengan kritik. Bedakan antara kritik dan caci-maki, hoaks, ujaran kebencian, maupun fitnah. Hal ini, tidak hanya berlaku untuk pemerintah, tetapi untuk semua orang," ujar Subardi.

Sebagai sebuah negara demokrasi, upaya mengawal jalannya dinamika pemerintahan adalah sebuah keharusan di Indonesia. Jika ingin, agar negara tumbuh dan berkembang dengan baik, diperlukan masukan (input) dari berbagai pihak dalam menggotong kebaikan (bonum commune) dan kesejahteraan bersama (communal welfare). 

Hal ini penting, mengingat sebuah pemerintahan yang baik, akan tetap eksis selamanya jika para pemangku jabatan dan kepentingan mau terbuka dalam menerima masukan berupa kritik.

Pertanyaannya adalah apakah sebuah kritikan harus disertai solusi? Sejatinya tidak. Saya boleh menyampaikan aspirasi, masukan, ataupun kritikan agar, pertama-tama mereka yang menjadi sasaran kritikan saya sadar akan kekurangan dan kelalaian yang tengah terjadi. 

Dalam hal ini, kritikan berusaha memacu upaya menumbuhkembangkan fungsi kontrol sosial (social control) dalam hidup bersama. Dengan mengutarakan kritikan, seseorang merasa bebas hidup sebagai warga negara, sekaligus diterima atau diakui sebagai seorang warga negara.

Praksis hidup berdemokrasi ada dalam koridor mengkritik, dikritik, dan menjawab kritikan. Unsur-unsur ini penting mengingat kehidupan bersama adalah corak dialogis humanis. Ketika saya mengkritik, dalam hal ini, saya berusaha mengingatkan sesuatu yang "mungkin" tak diketahui atau tak disadari oleh orang yang tengah saya kritik. 

Dalam konteks demikian, saya tak wajib menawarkan solusi, yang penting saya sudah mengingatkan dan memberikan input yang konstruktif. Hemat saya, pemerintahan yang bijak akan mengakomodir jenis masukan bermanfaat, jika disampaikan secara terbuka (transparant) dan santun (polite).

Polemik terbesar kenapa kritikan berubah menjadi bencana, sejatinya bisa muncul justru karena cara mengkritik. Dalam dunia moral dan praksis etika, ketika kita membuat sebuah keputusan tertentu, tiga aspek penting berikut harus tetap dikawal sebagaimana mestinya, yakni soal cara, motif atau intensi, dan tujuan. 

Dalam menyampaikan kritik, tidak cukup apa yang dinamakan dengan intensi -- hal apa yang hendak sampaikan. Meski niat saya baik, akan tetapi cara saya menyampaikannya kurang baik, bisa jadi kritikan itu justru kembali menyerang pribadi saya sebagai pengkritik.

Dalam ilmu komunikasi, tata cara menyampaikan ide, gagasan, pesan ataupun kritik harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Tentu kita masih mengenal istilah finish santificat media (tujuan tidak menghalalkan segala cara). Apa yang dimaksudkan dengan cara dalam hal ini? 

Cara yang baik itu berkaitan dengan pilihan kata (diksi), tidak memprovokasi, menggunakan bahasa yang tidak mengandung SARA, dan tak boleh menghujat atau mencaci-maki si sasaran kritik. Ketika aspek-aspek tersebut dilalaikan, inilah yang menjadi biang kerok kenapa para pengkritik kemudian diproses secara hukum.

Karakter demokratis sebuah pemerintahan dalam hal ini tidak serta-merta menghapus cara-cara yang santun dalam mengutarakan gagasan. Dalam konferensi persnya, Presiden Joko Widodo menyentil soal keterbukaan pemerintah dalam menerima masukan berupa kritikan dan saran dari warga negara. Bagi Presiden Jokowi, kritikan dan saran adalah alat uji kemajuan sebuah bangsa. 

Sebuah pemerintahan demokratis selalu mau berdialog dengan siapa saja entah melalui diskusi bersama, debat publik, maupun melalui kritik-saran. Hemat saya, poin ini sudah menjadi sebuah role model yang patut dicontohi dari pribadi seorang pemimpin. Saya yakin dan percaya bahwa sebuah sistem pemerintahan yang mengedepankan unsur dialog akan membawa banyak perubahan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Salah satu negara yang jatuh pada diktatorisme untuk saat ini, misalnya adalah Myanmar. Saat ini Myanmar ada dalam goncangan politik yang hebat. Hasil Pemilu yang diadakan pada 2020 kemarin justru ditolak oleh partai opisi junta militer. 

Dengan karakter egosistem yang kuat dalam diri junta militer, alhasil pemerintahan yang sah dari hasil pemilu demokratis kemarin membelenggu hidup bernegara. Kritikan dan masukan dari warga negara tak satupun diadopsi dan diterima dengan baik. 

Dalam hal ini, kita bisa mencermati bagaimana komunikasi politik yang mengedepankan egosistem lebih dominan. Negara-negara lain yang ikut masuk dalam proyek egosistem ini adalah Korea Utara dan China.

Maka, apa yang harus diusahakan? Hal yang seharusnya dikedepankan sebetulnya adalah bagaimana pemerintahan yang demokratis itu membentuk semangat eko-sistem, yakni membuka ruang dialog, menerima masukan-kritik, dan legowo. Karakter ekosistem dalam dalam hal ini membentuk semangat keseimbangan dan merangkul semua. 

Jika kita melihat lebih jeli, upaya masayarakat Myanmar dalam menyampaikan kritikan kepada junta militer Myanmar selalu dilakukan dengan cara-cara beradap. 

Mereka, dalam hal ini, tetap memperhatikan kaidah-kaidah komunikasi politik yang santun. Akan tetapi, dengan karakter ego-sistem yang mengakar dalam diri pribadi dan kelompok tertentu, upaya-upaya demikian hanya menjadi rutual belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun