Tahun 2020 hingga 2021 boleh dibilang tahun pilah penuh pilu. Tahun pilah karena kita mengasingkan diri, sekaligus diasingkan. Tahun batas, juga tahun pembatas. Tahun dikecualikan, dipisahkan. Tahun dimana, ada pembatas. Tahun dimana masker memberi jarak. Ya memang, dua tahun ini, jarak adalah kekuatan di balik ketegaran kita untuk berdiri hingga detik ini.
Persis tak ada yang merangkul. Jika saudaramu baru pulang karena lama merantau atau bekerja di tempat lain, berpelukan dan merangkul adalah sesuatu yang menakutkan.Â
Bahkan, sekarang, hal itu sudah menjadi tabu di mata banyak orang. Jika pulang rumah, Anda wajib menjaga jarak dan dianjurkan 'tuk menghindari kontak dengan banyak orang. Anda dikarantina. Ini hukum yang berlaku. Ini kebijakan yang disepakati bersama. Dari tempat yang asing, Anda kembali ke tempat asal untuk diasingkan pula.
Untuk saat ini, uang tak lagi dilihat sebagai kekuatan hidup. Hidup bersama, dimana interaksi menjadi kekuatan membangun hidup itu sendiri (karakter sosial) seorang manusia, justru dilihat sebagai malapetaka. Situasi saat ini, boleh jadi membuat kita semua sangat membenci kebersamaan.Â
Sebaliknya, mengasingkan diri, menjauhi kerumunan, dan membuat batas dengan portal dan masker, adalah sarana mempertahankan hidup. Hal ini diatur oleh pemerintah dan dituruti warga. Hal ini diwajibkan otoritas pemimpin agama dan diamini umat. Siapa membantah, siap-siap masuk penjara. Siapa tak taat, ia digebuk pagebluk.
Situasi di atas, tak terlalu jauh dari kisah bacaan-bacaan yang direnungkan pada Hari Minggu Biasa VI ini. Dalam bacaan I, Kitab Imamat mengisahkan bagaimana hukum mengasingkan mereka yang dicap khusus dalam masyarakat.Â
"Orang yang sakit kusta harus berpakaian cabik-cabik, dan rambutnya terurai. Ia harus menutup mukanya sambil berseru: Najis! Najis! Selama ia kena penyakit, ia tetap najis. Memang ia najis. Ia harus tinggal terasing. Ia harus tinggal di luar perkemahan tempat kediamannya" (Imamat 13:44-46).
Orang kusta di lingkungan budaya orang Israel zaman itu, memang merasa sakit yang luar biasa. Tragis dan memilukan. Selain sakit karena kusta itu sendiri, sakit psikis karena dirajam stigma dan pelabelan, juga ikut memengaruhi kehidupan harian mereka. Hukum menyeleksi ruang khusus untuk mereka.Â
Hukum membatasi ruang gerak mereka. Dan, hukum pula-lah yang mengkarantina mereka dalam penderitaan semasa hidup. Di luar hukum, ada suara-suara hakim. Suara hakim datang untuk memberi penegasan bahwa mereka yang kusta ini bukanlah bagian dari sesama manusia. Untuk itu, mereka diasingkan.
Sakit dan tragis, tapi kenyataannya memang demikian. Yang kusta, yang bepenyakitan, yang dilabeli, dan yang diteriaki najis-najis, adalah orang-orang buangan. Mereka wajib disingkirkan, diasingkan, dikeluarkan dari keramaian-kerumunan-kebersamaan. Mereka perlu diberi tempat khusus.Â
Mereka perlu diisolasi dan dikarantina. Dengan demikian, mereka bukan manusia. Siapa yang merawat mereka? Siapa yang mau peduli dengan mereka? Anda peduli, artinya Anda siap-siap dihukum. Anda merawat, berarti Anda adalah bagian dari mereka. Maka, demi kenyamanan, kadang orang memilih suara mayoritas -- ikut mengasingkan orang-orang demikian karena takut dirajam tetangga dan lingkungan sekitar.